Minggu, 12 Agustus 2012

Kasus Privatisasi Air Minum di DKI





Salah satu resep dari imperialis Bank Dunia dan IMF bagi pembangunan di Indonesia adalah privatisasi. Namun selain itu dalam privatisasi dipersyaratkan keterlibatan perusahaan asing ke dalam BUMN/BUMD  yang diprivatisasi. Mereka menjamin dengan privatisasi terhadap perusahaan negara akan tercipta efisiensi, peningkatan pelayanan, dan korupsi dapat diminimalisir.

Tapi dari kasus privatisasi air di DKI Jakarta, semua yang dijanjikan itu ternyata omong kosong dan tak terbukti. Yang terjadi adalah sebaliknya, tak ada efisiensi, korupsi terus berjalan, pelayanan tidak membaik, membengkaknya subsidi pemerintah, dan tarif air di DKI mencapai rekor paling mahal se-Asean.

Privatisasi air di Indonesia awalnya terjadi pada awal 1990 ketika Bank Dunia menyetujui untuk menyediakan pinjaman US $ 92 juta guna pembangunan infrastruktur air. Pinjaman itu disertai pula dengan saran untuk melakukan privatisasi.

Privatisasi di Indonesia dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah privatisasi sebelum krisis ekonomi 
Privatisasi tahap pertama berlangsung dengan pinjaman multilateral dari bank Dunia dan pinjaman bilateral dari Jepang. Pada tahap ini, yang terlibat dalam privatisasi adalah perusahaan multinasional asal Inggris dan Perancis, yakni Suez dan Thames. 

Yang menarik, privatisasi ini melibatkan konglomerasi Indonesia atas nama PT Kekar Pola Airindo. Di belakang Kekar Pola Airindo, terdapat nama Salim Group, yakni Anthony Salim, dan Sigit Harjojudanto. Sigit adalah anak Suharto dan Salim rekan bisnis keluarga Suharto.

Thames Water Overseas hadir di Indonesia sejak tahun 1993 menggandeng Sigit Harjojudanto tanpa mempertimbangkan fakta bahwa anka Suharto itu bukanlah seorang pemain yang mengerti benar pengelolaan air. Thames membentuk perusahaan lokal dan kemudian memberi Sigit 20 % dari keuntungan tanpa ada modal apapun.

Dari sini saja sudah jelas aroma KKN yang dibawa perusahaan asing. Padahal Bank Dunia dan IMF selalu mengumandangkan privatisasi bertujuan meminimalkan korupsi. Yang terjadi dengan kedatangan asing, korupsi tetap berjalan dan bahkan pemainnya bertambah, yaitu perusahaan asing.

Mengutip pernyataan Teten Masduki, “Setiap perusahaan multinasional di Indonesia selalu bekerjasama dengan anak-anak dan kroni Soeharto. Dari semua sektor, listrik, minyak, air, dan lainnya, merupakan bentuk oligarki korupsi. Motivasinya mereka ingin mendapatkan perlindungan politik.

Karena saat itu hukum melarang adanya investasi asing di bidang penyediaan air, maka dengan melibatkan anak-anak dan kroni Suharto, pihak asing membentuk perusahaan berlabel nasional. Sigit bekerjasama dengan Thames membentuk Kekar Pola Airindo, sedang Salim Group dengan Suez membentuk PT Garuda Dipta Nusantara.

Ketika terjadi kerusuhan menjelang kejatuhan Suharto, petinggi Thames dan Suez mulai memikirkan kembali masa depan bisnis mereka di Indonesia. Karena telah terikat kontrak di awal selama 25 tahun, dua perusahaan multinasional itu memutuskan untuk terus beroperasi di Indonesia. Namun kali ini privatisasi dilakukan dengan menggandeng PAM Jaya, karena menurunnya peran dari “kroni-kroni” Soeharto. Dengan PAM, akhirnya Thames dan Suez membentuk PAM Thames Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya, dengan menggandeng PT Terra Meta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana.

Tapi apa yang terjadi setelah privatisasi? Selain KKN terus berjalan, peningkatan pelayanan juga tak terjadi. Sebelum terjadi privatisasi 55% penduduk rawan akses air bersih. Tapi setelah privatisasi
pelayanan air tidak meningkat secara signifikan. Hanya daerah-daerah di pusat kota seperti Menteng dan Pondok Indah yang meningkat pelayanannya secara signifikan.

Tingkat kebocoran pipa juga tidak sesuai dengan klausul dalam kontrak dan harapan masyarakat. Tingkat kebocoran pada saat dikelola PAM Jaya sebesar 53%, kini berkisar pada angka 48%. Namun, untuk menekan tingkat kebocoran (non revenue water), kedua mitra asing hanya melakukan pembatasan pengoperasian mesin pompa yang terdapat di setiap instalasi. Dampaknya, sejumlah daerah dalam jangkauan pelayanannya malah mengalami kekurangan air.

Sementara dari sisi kualitas air relatif tidak berubah sebelum dan sesudah privatisasi. Bahkan untuk beberapa indikator seperti konsentrasi deterjen, setelah privatisasi, kualitas airnya justru menurun. Pada 1998 misalnya, konsentrasi deterjen mencapai 0,12 mg/l. Demikian juga pada 1999 dengan konsentrasi deterjen sebesar 0,17 mg/l. Padahal standar konsentrasi deterjen adalah 0,05 mg/l. Bandingkan dengan sebelum privatisasi, konsentrasi deterjen masih memenuhi standar seperti pada 1993 (0,031 mg/l) dan 1994 (0,016 mg/l).

Target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak mencapai ketentuan kontrak, dan lebih rendah dibanding pertumbuhan sebelumnya oleh PAM Jaya. Target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap dibawah kinerja PAM Jaya yang telah diprivatisasi.

Menurut pengakuan warga yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pelanggan dan Masyarakat (FKPM), kualitas air minum setelah privatisasi tetap keruh dan berbau tidak sedap. Selain mengeluh soal kualitas air minum, warga juga mempersoalkan distribusi air bersih yang tidak merata. "Rumah yang berada di pinggir jalan besar bisa mendapat air dengan lancar, sementara rumah di tengah perkampungan airnya sering mati," kata Ahmad Syarifudin, Ketua Dewan Kelurahan (Dekel) Semper Barat, Jakarta Utara. Distribusi air yang tidak merata akibat kecilnya tekanan air dikeluhkan anggota Lembaga Masyarakat Kota Jakarta Barat, Sukarlan.

Selain itu tarif air di Jakarta justru terus melesat.  Tarif air di Jakarta saat ini paling mahal di Asean. Di Singapura, air bersihnya sudah bisa langsung diminum tapi tarifnya hanya Rp 5.000 per meter kubik. Di Jakarta sudah mencapai Rp 7.500 per meter kubiknya," kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas (KRUHA) Muhammad Reza Sihab. kepada detikcom di Jakarta, Selasa (2/2/2010).

Tarif  tinggi karena sejak awal kontrak sudah mahal, yakni Rp. 1.700.  Selain itu ada ketentuan kenaikan tarif otomatis setiap semester (6 bulan). Dari tarif demikian, sebanyak Rp. 4.600 digunakan untuk membayar imbalan kepada operator asing (PAM Suez Lyonnaise dan PAM Thames Jaya). Sisanya untuk bayar utang PDAM kepada pemerintah, defisit, serta badan regulator.

Apabila kenaikan tarif air otomatis tidak disetujui pemerintah, maka kedua operator asing akan membebankan selisih Water Charge (imbalan air) dan Tarif Air kepada Pemerintah DKI sebagai utang. Saat ini Pemerintah DKI justru memiliki hutang sekitar Rp. 900 milliar kepada operator asing karena tarif air tidak dinaikkan dalam periode 1998-2001.

Lebih jauh, PAM Jaya masih meminta diberikannya subsidi dari pemerintah terkait dengan perbaikan infrastruktur. Hal ini tentunya sangat aneh dan absurd secara teoritis, di mana privatisasi seharusnya dapat menekan harga lebih murah dan merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara ke swasta, namun pada kenyataannya dalam privatisasi air di Jakarta, pemerintah masih melakukan subsidi dan tarif air naik.

Sampai sekarang masih terjadi tarik ulur antara PAM Jaya dengan mitra asing PT Pam Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta. Selama ini PAM Jaya menuntut kedua mitranya memenuhi target menurunkan tingkat kebocoran, membangun instalasi baru atau memperluas jaringan, dan menambah pelanggan. Tapi pihak operator asing justru mengeluhkan biaya pengolahan air baku serta membayar kewajiban utang ke Kementerian Keuangan. Memang Pemprov DKI telah mengkansel ketentuan kenaikan tarif PAM setiap enam bulan. Sejak 2007, tarif air minum tidak pernah dinaikkan.

Renegosiasi kontrak tentang denda, sanksi kebocoran air atau non revenue water, dan penghapusan utang yang ditargetkan selesai pada Maret-April 2012 tidak menunjukkan kemajuan. Soal-soal  tarif air inilah yang selalu menjadi bahan perselisihan.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Inggard Joshua, mengingatkan jika utang itu semakin besar dan PDAM Jaya tidak mampu membayar, beban itu akan ditanggung oleh APBD DKI Jakarta. Diperkirakan akumulasi utang pada akhir kontrak tahun 2020 mencapai 18,2 triliun rupiah.
Lalu kenapa PAM tidak menendang keluar pihak asing kalau ternyata mereka tidak mampu menyelesaikan masalah air PAM di DKI. Lagi pula mereka masuk ke Indonesia, kan, lewat jalan KKN?

Sumber:

Recent Posts