Salah satu resep dari imperialis Bank Dunia dan IMF bagi
pembangunan di Indonesia adalah privatisasi. Namun selain itu dalam privatisasi
dipersyaratkan keterlibatan perusahaan asing ke dalam BUMN/BUMD yang diprivatisasi. Mereka menjamin dengan
privatisasi terhadap perusahaan negara akan tercipta efisiensi, peningkatan pelayanan, dan korupsi
dapat diminimalisir.
Privatisasi air di Indonesia awalnya terjadi pada awal 1990
ketika Bank Dunia menyetujui untuk menyediakan pinjaman US $ 92 juta guna
pembangunan infrastruktur air. Pinjaman itu disertai pula dengan saran untuk
melakukan privatisasi.
Privatisasi di Indonesia dilakukan dalam dua tahap. Tahap
pertama adalah privatisasi sebelum krisis ekonomi
Privatisasi tahap pertama berlangsung dengan pinjaman
multilateral dari bank Dunia dan pinjaman bilateral dari Jepang. Pada tahap
ini, yang terlibat dalam privatisasi adalah perusahaan multinasional asal
Inggris dan Perancis, yakni Suez dan Thames.
Yang menarik, privatisasi ini melibatkan konglomerasi
Indonesia atas nama PT Kekar Pola Airindo. Di belakang Kekar Pola Airindo,
terdapat nama Salim Group, yakni Anthony Salim, dan Sigit Harjojudanto. Sigit
adalah anak Suharto dan Salim rekan bisnis keluarga Suharto.
Thames Water Overseas hadir di Indonesia sejak tahun 1993
menggandeng Sigit Harjojudanto tanpa mempertimbangkan fakta bahwa anka Suharto
itu bukanlah seorang pemain yang mengerti benar pengelolaan air. Thames
membentuk perusahaan lokal dan kemudian memberi Sigit 20 % dari keuntungan
tanpa ada modal apapun.
Dari sini saja sudah jelas aroma KKN yang dibawa perusahaan
asing. Padahal Bank Dunia dan IMF selalu mengumandangkan privatisasi bertujuan
meminimalkan korupsi. Yang terjadi dengan kedatangan asing, korupsi tetap
berjalan dan bahkan pemainnya bertambah, yaitu perusahaan asing.
Mengutip pernyataan Teten Masduki, “Setiap perusahaan
multinasional di Indonesia selalu bekerjasama dengan anak-anak dan kroni
Soeharto. Dari semua sektor, listrik, minyak, air, dan lainnya, merupakan
bentuk oligarki korupsi. Motivasinya mereka ingin mendapatkan perlindungan
politik.
Karena saat itu hukum melarang adanya investasi asing di
bidang penyediaan air, maka dengan melibatkan anak-anak dan kroni Suharto, pihak
asing membentuk perusahaan berlabel nasional. Sigit bekerjasama dengan Thames
membentuk Kekar Pola Airindo, sedang Salim Group dengan Suez membentuk PT
Garuda Dipta Nusantara.
Ketika terjadi kerusuhan menjelang kejatuhan Suharto,
petinggi Thames dan Suez mulai memikirkan kembali masa depan bisnis mereka di
Indonesia. Karena telah terikat kontrak di awal selama 25 tahun, dua perusahaan
multinasional itu memutuskan untuk terus beroperasi di Indonesia. Namun kali
ini privatisasi dilakukan dengan menggandeng PAM Jaya, karena menurunnya peran
dari “kroni-kroni” Soeharto. Dengan PAM, akhirnya Thames dan Suez membentuk PAM
Thames Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya, dengan menggandeng PT Terra Meta Phora
dan PT Bangun Cipta Sarana.
Tapi apa yang terjadi setelah privatisasi? Selain KKN terus
berjalan, peningkatan pelayanan juga tak terjadi. Sebelum terjadi privatisasi
55% penduduk rawan akses air bersih. Tapi setelah privatisasi
pelayanan air tidak meningkat secara signifikan. Hanya
daerah-daerah di pusat kota seperti Menteng dan Pondok Indah yang meningkat
pelayanannya secara signifikan.
Tingkat kebocoran pipa juga tidak sesuai dengan klausul
dalam kontrak dan harapan masyarakat. Tingkat kebocoran pada saat dikelola PAM
Jaya sebesar 53%, kini berkisar pada angka 48%. Namun, untuk menekan tingkat
kebocoran (non revenue water), kedua mitra asing hanya melakukan pembatasan
pengoperasian mesin pompa yang terdapat di setiap instalasi. Dampaknya,
sejumlah daerah dalam jangkauan pelayanannya malah mengalami kekurangan air.
Sementara dari sisi kualitas air relatif tidak berubah
sebelum dan sesudah privatisasi. Bahkan untuk beberapa indikator seperti
konsentrasi deterjen, setelah privatisasi, kualitas airnya justru menurun. Pada
1998 misalnya, konsentrasi deterjen mencapai 0,12 mg/l. Demikian juga pada 1999
dengan konsentrasi deterjen sebesar 0,17 mg/l. Padahal standar konsentrasi
deterjen adalah 0,05 mg/l. Bandingkan dengan sebelum privatisasi, konsentrasi
deterjen masih memenuhi standar seperti pada 1993 (0,031 mg/l) dan 1994 (0,016
mg/l).
Target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak
mencapai ketentuan kontrak, dan lebih rendah dibanding pertumbuhan sebelumnya
oleh PAM Jaya. Target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap dibawah
kinerja PAM Jaya yang telah diprivatisasi.
Menurut pengakuan warga yang tergabung dalam Forum
Komunikasi Pelanggan dan Masyarakat (FKPM), kualitas air minum setelah
privatisasi tetap keruh dan berbau tidak sedap. Selain mengeluh soal kualitas
air minum, warga juga mempersoalkan distribusi air bersih yang tidak merata.
"Rumah yang berada di pinggir jalan besar bisa mendapat air dengan lancar,
sementara rumah di tengah perkampungan airnya sering mati," kata Ahmad
Syarifudin, Ketua Dewan Kelurahan (Dekel) Semper Barat, Jakarta Utara.
Distribusi air yang tidak merata akibat kecilnya tekanan air dikeluhkan anggota
Lembaga Masyarakat Kota Jakarta Barat, Sukarlan.
Selain itu tarif air di Jakarta justru terus melesat.
Tarif air di Jakarta saat ini paling mahal di Asean. Di Singapura, air
bersihnya sudah bisa langsung diminum tapi tarifnya hanya Rp 5.000 per meter
kubik. Di Jakarta sudah mencapai Rp 7.500 per meter kubiknya," kata
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas (KRUHA) Muhammad Reza Sihab. kepada
detikcom di Jakarta, Selasa (2/2/2010).
Tarif tinggi karena
sejak awal kontrak sudah mahal, yakni Rp. 1.700. Selain itu ada ketentuan
kenaikan tarif otomatis setiap semester (6 bulan). Dari tarif demikian,
sebanyak Rp. 4.600 digunakan untuk membayar imbalan kepada operator asing (PAM
Suez Lyonnaise dan PAM Thames Jaya). Sisanya untuk bayar utang PDAM kepada
pemerintah, defisit, serta badan regulator.
Apabila kenaikan tarif air otomatis tidak disetujui
pemerintah, maka kedua operator asing akan membebankan selisih Water Charge
(imbalan air) dan Tarif Air kepada Pemerintah DKI sebagai utang. Saat ini
Pemerintah DKI justru memiliki hutang sekitar Rp. 900 milliar kepada operator
asing karena tarif air tidak dinaikkan dalam periode 1998-2001.
Lebih jauh, PAM Jaya masih meminta diberikannya subsidi dari
pemerintah terkait dengan perbaikan infrastruktur. Hal ini tentunya sangat aneh
dan absurd secara teoritis, di mana privatisasi seharusnya dapat menekan harga
lebih murah dan merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara ke swasta,
namun pada kenyataannya dalam privatisasi air di Jakarta, pemerintah masih
melakukan subsidi dan tarif air naik.
Sampai sekarang masih terjadi tarik ulur antara PAM Jaya
dengan mitra asing PT Pam Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta.
Selama ini PAM Jaya menuntut kedua mitranya memenuhi target menurunkan tingkat
kebocoran, membangun instalasi baru atau memperluas jaringan, dan menambah
pelanggan. Tapi pihak operator asing justru mengeluhkan biaya pengolahan air
baku serta membayar kewajiban utang ke Kementerian Keuangan. Memang
Pemprov DKI telah mengkansel ketentuan kenaikan tarif PAM setiap enam bulan.
Sejak 2007, tarif air minum tidak pernah dinaikkan.
Renegosiasi kontrak tentang denda, sanksi kebocoran air atau
non revenue water, dan penghapusan utang yang ditargetkan selesai pada
Maret-April 2012 tidak menunjukkan kemajuan. Soal-soal tarif air inilah
yang selalu menjadi bahan perselisihan.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Inggard Joshua, mengingatkan
jika utang itu semakin besar dan PDAM Jaya tidak mampu membayar, beban itu akan
ditanggung oleh APBD DKI Jakarta. Diperkirakan akumulasi utang pada akhir
kontrak tahun 2020 mencapai 18,2 triliun rupiah.
Lalu kenapa PAM tidak menendang keluar pihak asing kalau
ternyata mereka tidak mampu menyelesaikan masalah air PAM di DKI. Lagi pula
mereka masuk ke Indonesia, kan, lewat jalan KKN?
Sumber: