Senin, 23 Februari 2015

Cerita Supersemar Yang Sesunggunya

Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada zaman pemerintahan Suharto pernah menjadi kontroversi. Ini karena munculnya dua versi yang saling bertentangan. Versi pertama dan yang dipakai oleh penguasa saat itu menyebut supersemar berisi pengalihan kekuasaan dari presiden Sukarno kepada Jendral Suharto. Versi kedua, supersemar hanyalah surat perintah dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Suharto untuk memulihkan situsi keamanan. Dan yang membuat kontrversi ini tak kunjung reda karena naskah aslinya dinyatakan hilang.

Awal keluarnya supersemar terjadi pada tanggal 11 Maret 1966. Pada hari itu Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal". Belakangan diketahui itu adalah Pasukan Kostrad di bawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.

Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai skenario Soeharto untuk menunggu situasi.

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Mereka adalah Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut. Para perwira itu  menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno terjadi hingga pukul 20.30 malam.

Presiden Soekarno setuju hingga dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar. Isinya memerintahkan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Namun supersemar kemudian digunakan Suharto dan para pendukungnya untuk mengambilalih kekuasaan dari Sukarno. Maka penafsiran inilah yang kemudian membuka jalan bagi naiknya Suharto menjadi Presiden RI menggantikan Sukarno. Kemudian muncullah pendapat bahwa naiknya Suharto itu merupakah hasil kudeta.

Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, yang dilansir berbagai media massa setelah Reformasi 1998, perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira. Yang satunya lagi adalah Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean.

Menurut dia, pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu.  Tentu saja kalangan jenderal yang pro Suharto membantahnya.

Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.



Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.

Recent Posts