Selasa, 26 Mei 2015

Kesultanan Aceh, Negeri Islam Yang Lahirkan Banyak Pemimpin Wanita

Kesultanan Aceh dikenal sebagai negeri yang kental dengan nuansa Islamnya. Karena itulah sejak lama negeri ini dijuluki Serambi Mekkah. Namun yang mengejutkan adalah peranan para wanitanya yang mungkin sangat kontras dibanding dengan negeri atau kerajaan-kerajaan Islam lainnya.


Di kebanyakan negeri yang berlandaskan syariah Islam,  wanita umumnya memiliki fungsi domestik. Mereka umumnya berada di rumah sambil menjalankan fungsi mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Jarang sekali wanita yang keluar rumah untuk bekerja, apalagi berperang.

Namun sejarah panjang Aceh membuktikan bahwa para wanita Aceh telah mendarmabaktikan dirinya dalam berbagai bidang. Bahkan wanita Aceh seringkali menduduki jabatan pemimpin di tingkat paling rendah sampai dengan pemimpin tertinggi di masyarakat.

Dalam struktur masyarakat,  wanita mempunyai otonomi yang cukup, yang mana tampak pada sebutan po rumoh bagi wanita. (Sufi, 1997). Hal ini berakibat para wanita memiliki keleluasan dalam memilih peranan di masyarakat, termasuk untuk menjadi pemimpin.

Tak aneh jika banyak bermunculan wanita yang menjadi Sultanah (wanita kepala pemerintahan Kerajaan Aceh), laksamana (pemimpin angkatan perang), uleebalang (kepala kenegerian) dan tidak sedikit yang berperan sebapai pemimpin perlawanan terhadap penjajah.

Bahkan sejarah menunjukkan setelah era Sultan Iskandar Tsani, Kesultanan Aceh sebanyak empat kali berturut-turut dipimpin oleh wanita. Ketika Sulta Iskandar Tsani mangkat pada tahun 1641, ia digantikan Sultanah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda.

Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana.

Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.

Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya.

Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678.

Dua pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).       

Selama pemerintahan Kesultanan Aceh dipimpin oleh Taj'ul alam (1641-1875) Aceh begitu damai, stabil, dan aman. Tiga penguasa wanita lain yang menggantikannya tak menghadapi masalah serius dari masyarakatnya. Aceh tak bermasalah dengan kepemimpinan perempuan.

Tapi Arab Saudi akan menentang ide ini sejak dulu sampai hari ini. Pada tahun 1699, sekelompok pedagang Arab menggunakan pengaruhnya di kesultanan untuk menekan "pemerintahan wanita" dan memasang pemimpin berdarah Arab di tahta. Sejak itu Kesultanan Aceh mengalami penurunan.    

Peran wanita di Aceh di medan perang secara panjang lebar telah diuraikan oleh H.C. Zentgraff. Dia menyebut para wanita Aceh sebagai “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (wanita-wanita besar). Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita kebangsaan dan keagamaannya. Mereka bisa berada di belakang layar maupun secara terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan tersebut. Mereka rela hidup susah dan menderita di kancah peperangan.

Di balik tangan yang lemah gemulai, kulit halus, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya di tangan wanita Aceh. Zentgraaff (1983: 95) menyatakan kelebihan yang dipunyai oleh wanita Aceh dengan pernyataan sebagai berikut: “Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok Kepulauan Indonesia, tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang dan fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan kaum wanita Aceh yang melebihi kaum wanita bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal bukanlah laki-laki lemah dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka”.

Salah satu Srikandi Aceh yang sesuai dengan gambaran H.C. Zentgraff di atas adalah Cut Nyak Dhien. la adalah seorang wanita yang mempunyai peran penting dalam perjuangan dan perlawanan rakyat Aceh dalam menentang kolonialisme Belanda.

sumber:
1. rindamiskandarmuda.mil.id
2. Krishna, Anand, Touth Challenges and Empowerment, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
3. www.atjehcyber.net

Recent Posts