Rabu, 27 Mei 2015

Permainan Poros Tengah Menaikturunkan Gus Dur

Ketika menjadi anggota Fraksi PDI DPR RI Komisi IV (1987-1997), penampilan Megawati sebagai wakil rakyat sama sekali tidak mengesankan. Selain karena sifat pendiamnya, ia memilih tidak menonjol. Tampaknya ia lebih suka melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat.

Lobi politiknya, yang silent operation, diam-diam justru mengokohkan akar Megawati di dunia politik. Karena "kediamannya"  itulah ketika pada tahun 1993 terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI, dia membuat kaget banyak orang, termasuk pemerintah pada saat itu.

 

Ada cerita menarik pada proses naiknya Mega. Ketika itu, Kongres PDI di Medan berakhir ricuh dan tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Padahal saat itu pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi.

 

Kongres itu  dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega tiba-tiba muncul dan terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDIP. Sementara Budi Hardjono, yang didukung oleh pemerintah, tersingkir. Status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi dalam Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.

 

Namun pemerintah menolak dan menganggap terpilihnya Megawati tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung gerakan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi.

 

Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Ia dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan dan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.


Soerjadi yang didukung pemerintah melontarkan ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega.

Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.

Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun pecah menjadi PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.

 

Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu.


Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi yang diunggulkan sebagai presiden.

Megawati, Gus Dur, Poros Tengah
Namun MPR yang saat itu dikuasai Koalisi Poros Tengah tampaknya tidak mendukung Megawati. Untuk menolak Megawati, mereka menggiring opini seolah-olah terjadi pertentangan tajam antara kubu Megawati dengan kubu Habibie. Menurut elit-elit Poros Tengah memilih salah satu di antara keduanya akan menghadapi ancaman pengikut setia kedua tokoh tersebut. Dengan licik Poros Tengah mengajukan Gus Dur sebagai capres alternatif.

Memang sejak awal Poros Tengah tidak menginginkan Megawati menjadi presiden. Pemimpin utama Poros Tengah saat itu yang juga Ketua Umum PAN, Amien Rais dan elit-elit Poros Tengah lainnya beberapa kali melemparkan isu yang menyudutkan Megawati.  Di antaranya Kelompok ini membangun wacana "fatwa haram"-nya  seorang wanita sebagai Presiden. 

Seperti yang diungkapkan "Kadir Jaelani" <merdeka99@hotmail.com>   dalam forum: apakabar@saltmine.radix.net, 26 Oktober 1999, manuver Amien Rais yang menyudutkan Megawati dilakukan sejak Kongres di Bali sampai dengan terpilihnya Megawati  sebagai Wapres. Sebagai contoh ketika presiden Habbie dan  orang-orang Golkar dilanda isu suap Bank Bali, Amien Rais memunculkan juga  kasus Lippogate, untuk membalas mencuatnya kasus Bank Bali. Tetapi setelah  kasus BB mereda, kasus Lippogate juga mereda. Ia mempertanyakan kenapa setiap ada kasus yang  menyangkutkan PDI-P, Amien ikut-ikutan? "Di sinilah letak tidak obyektifnya Mas Amien terhadap mbak Mega dan PDIP-nya," ulasnya. 

Dalam situasi Indonesia dibelit krisis ekonomi, ia mempertanyakan, "Kapan Indonesia ini bisa bangkit dari krisis dan mulai membangun? Kalau 
cara-cara gontok-gontokan dan jegal-menjegal seperti yang dilakukan oleh mas 
Amien ini masih dilanggengkan di Indonesia? Apakah masih pantas mas Amien 
menjabat sebagai ketua MPR dengan segala manuvernya yang jelas-jelas masih 
kekanak-kanakan itu?"

Dalam hal pengajuan Gus Dur, pengirim milis tersebut menganggap itu sebagai pemaksaan. Karena saat itu Gus Dur mengalami kendala fisik dalam hal kebutaan dan ia baru saja terkena stroke. Ia mempertanyakan apa sudah dipikirkan bahwa  sebenarnya cacat fisik Gus Dur tersebut tidaklah sesuai dengan UUD 45, yang mengatur untuk menjadi presiden RI seseorang harus sehat jasmani. 

 

Poros Tengah yang terdiri dari partai-partai Islam PAN, PKB, PPP, PKS, Partai Bulan Bintang dan didukung Golkar akhirnya memang mengajukan Gus Dur melawan PDIP yang sendirian mengusung Megawati dalam Sidang Umum 1999. Megawati akhirnya kalah tipis dalam voting pemilihan presiden dengan perbandingan suara 373 banding 313 suara.

 

Poros Tengah memang akhirnya ikut mewarnai kabinet Gus Dur. Penulis milis "Faried Basalamah" dalam forum apakabar@saltmine.radix.net, tertanggal 4 Nopember 1999 mengatakan, kabinet yang dibentuk Gus Dur atas persetujuan Amien Rais (partai-partai Islam) , Jenderal Wiranto (militer), Akbar Tanjung (Golkar).


Namun menurut penulis milis, Kadir Jaelani,  setelah menjadi presiden, Gusdur mencoba mengakomodasi seluruh golongan, baik dari Indonesia timur,  barat, etnik, partai, juga kalangan akademis, dan militer untuk duduk di kabinetnya. Dalam pidato pelantikan Gus Dur mengatakan sebagai presiden sekarang dia bukan  lagi milik dari partainya, tetapi milik rakyat Indonesia yang mementingkan  kepentingan rakyat bukan golongan lagi. 

Setelah Gus Dur menjadi presiden,  Kadir Jaelenai melihat Amien Rais masih melakukan manuver untuk menghadang kemungkinan Megawati jadi presiden bila Gus Dur berhenti menjadi presiden di tengah jalan. Itu karena keberadaan Megawati sebagai Wakil Presiden yang akan menggantikan presiden bila berhalangan tetap, tidak ia kehendaki.

Berkaitan dengan itu Amien Rais mengusulkan kepada Badan Pekerja MPR agar pada Sidang Istimewa yang akan datang, MPR mengamademen lagi UUD 45 
tentang jabatan Wakil Presiden Indonesia. Ia menginginkan Wakil Presiden yang awalnya 1 orang bisa dimekarkan menjadi 2 orang sesuai usulan Marwah Daud pada SU MPR sebelumnya dan juga atas usul Yusril Ihza. 

Belum lama pemerintahan berjalan, sudah pecah kongsi antara Poros Tengah plus Golkar dengan Gus Dur. Koalisi antara partai-partai Islam, dan Golkar lewat orang-orang mereka di DPR/MPR memainkan isu kasus Dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei, serta pernyataan dan kebijakan Presiden yang kerap menimbulkan kontroversi. 

Sebagaimana dipaparkan penulis milis <mtn01sg@yahoo.com>  di forum apakabar@radix.net,. Poros Tengah  telah dikecewakan oleh sepak terjang Presiden Gusdur yang sulit diprediksi  dan sulit dikontrol. Untuk kepentingan Poros Tengah, yang cenderung  sektarian dan fundamentalis dalam hal agama, sepak terjang Gusdur dinilai sangat mengancam bagi masa depan kepentingan sektarian mereka dan kepentingan ekonomis mereka.

Walaupun menteri dari Poros Tengah cukup banyak dan bahkan Wakil Presiden Hamzah Haz berasal dari mereka, tapi mereka merasa kebijakan-kebijakan Gusdur merugikan kepentingan mereka dan Islam. Oleh karena itu, dengan segala macam cara perlu ditempuh untuk menghentikan  langkah-langkah Gusdur. Segala kelemahan-kelemahan Gusdur tidak hanya  dikorek habis-habisan, tetapi juga dimanfaatkan semaksimal mungkin. 

Selain Poros Tengah, PDIP juga ikut bermain dalam pelengseran Gus Dur.  Tujuan akhir pelengseran Gusdur dari dua kelompok ini tentu saja  berbeda. Mereka hanya bertemu pada fokus: Gusdur harus turun untuk  memecahkan masalah bangsa.

Para elit PDIP ikut bermain karena merasa dikhianati oleh Gusdur, terutama dengan  pencopotan Laksamana dan Kwik sebagai menteri. Para anggota 
Litbang PDIP melihat bahwa Gusdur sudah sulit diperbaiki lagi, dan sulit 
diperingatkan. Mereka juga melihat pula bahwa  kepentingan PDIP semakin terjepit oleh langkah-langkah Gusdur yang  inkonsisten, dan sulit diikuti oleh akal sehat para elit PDIP. Maka, mereka sepakat untuk mendukung SI MPR.

Selain itu SI MPR bagi PDIP merupakan momen emas untuk menggolkan hasil  kongres di Bali, yakni membawa Mega ke kursi Presiden. Dari perspektif  partai, manuver PDIP sebetulnya sudah sangat jelas dan dapat ditebak.  Tetapi sikap Megawati sendiri saat itu tak jelas. Ia cenderung diam tak  bergeming. Apakah Mega sebetulnya mendukung seratus persen atau tidak. 

Di mana posisi Golkar sebagai kekuatan Orde Baru? Tampaknya di sini Golkar yang dimotori Akbar Tanjung juga bermain aktif sekali. Tujuannya bersifat jangka panjang, sekaligus mengulur kesempatan untuk bisa bernafas, untuk bisa bergerak dari segala  tekanan terhadap Golkar serta untuk menyelamatkan diri dari segala skandal  yang telah melibatkan Golkar. Oleh karena itu, Golkar kini sedang bermain  di semua lini, baik di dalam dua kelompok yang saling berambisi, di  militer, di birokrasi, dan juga dalam gerakan massa.

Golkar juga aktif memanas-manasi kedua kelompok yang  punya ambisi,  yakni PDIP dan Poros Tengah. Dengan begitu, gerakan reformasi yang mengarah pada pembusukan dan peminggiran Golkar menjadi  semakin terpojok oleh kepentingan kelompok itu.

Turunnya Gus Dur
Akibat benturan kepentingan yang tajam, terjadilah saling serang antara pihak Gus Dur dan Poros Tengah plus Golkar. Saling serang itu tidak hanya lewat kata, tapi juga pengerahan massa. Seperti aksi mahasiswa pada 12 Maret 2001, Wakil Ketua PBNU, Dr. Andi Jamaro, kepada wartawan, menengarainya digerakan oleh kelompok anti Gus Dur.  Karena itu dia mengancam akan mengerahkan massa pendukung Gus Dur apabila gerakan ekstra parlementer tetap digunakan untuk menurunkan Gus Dur dari jabatannya.

Andi menyatakan, PBNU sudah meminta agar elite-elite politik tidak memaksakan kehendak mereka. “Kalau mereka tidak menghentikan gerakan massanya, NU akan menggerakkan massa yang sama untuk melawan mereka. Kesabaran ada tepinya. Dari dulu NU tak akan membeli kalau tidak ditawar,” tegas Andi.

Andi juga menyesalkan tindakan anarki yang dilakukan mahasiswa dan massa anti Gus Dur yang membakar beberapa fasilitas Universitas Katolik Atma Jaya. “Pagi tadi Amien Rais menyatakan aksi mahasiswa tidak akan anarkis. Tapi, buktinya, mereka membakar beberapa fasilitas Universitas Atma Jaya,” ujar dia.

Sementara kelompok pro Gus Dur antara lain mengerahkan sekitar 5.000 massa yang tergabung dalam Forum Masa Depan Indonesia, untuk melakukan aksi demo di gedung DPR, Kamis,15 Maret 2001.

Sebagian besar dari mereka tampak mengenakan ikat kepala dan membawa bambu runcing sepanjang setengah meter. Massa yang mengaku dari berbagai tempat di Pulau Jawa ini dipimpin oleh Avianto Mutaddi meneriakkan yel-yel yang mengelu-elukan Gus Dur. Mereka juga menuntut revolusi sekarang juga dengan pembubaran Golkar dan mundurnya Amien Rais dan Akbar Tandjung dari jabatannya sekarang.

Untuk menjawab serangan lawan-lawan politiknya dalam kasus Dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei, Gus Dur memanfaatkan pertemuannya dengan rektor-rektor universitas yang digelar pada 27 Januari 2001. Pada momen itu, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk dalam anarkisme menyusul merebaknya kasus dana Yanatera Bulog. Ia mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.

Tak mau kalah  Pada 1 Februari 2001, DPR menjatuhkan memorandum kedua kepada Presiden Abdurrahman Wahid terkait dengan kasus penyalahgunaan dana Yanatera Bulog Rp 35 miliar dan bantuan Sultan Brunei.  

Pada Maret 2001, Gus Dur memecat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail. Sebab, keduanya dianggap berbeda visi dengan Presiden, serta tak bisa mengendalikan partainya di parlemen. Apalagi, Yusril minta Gus Dur mundur. Seperti diketahui Yusril berasal dari Partai Bulan Bintang sedangkan Nurmahmudi Ismail berasal dari PKS.

Pada 28 Maret 2001,  Presiden Abdurrahman Wahid menjawab memorandum I DPR. Dalam jawabannya, melalui Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa, Gus Dur menolak Memorandum I dan membantah terlibat dalam kasus penyalahgunaan dana Bulog Rp 35 miliar dan bantuan Sultan Brunei

Pada 30 April 2001, DPR menjatuhkan memorandum kedua kepada Presiden Gus Dur karena tidak puas dengan jawaban Presiden atas memorandum pertama. DPR juga mengusulkan sidang istimewa pada 1 Agustus 2001. Dalam voting terbuka itu, dari 457 anggota Dewan yang hadir, 363 setuju, 52 menolak dan 42 abstain.

Pada 1 Juni 2001, Gus Dur memecat Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono bersama empat menteri lainnya. Alasannya, karena SBY tidak mendukung pernyataan keadaan darurat. 

Pada 20 Juli 2001, Ketua MPR Amien Rais mengungkapkan bahwa Sidang istimewa MPR bisa dipercepat dari 1 Agustus menjadi 23 Juli 2001.

Pada 23 Juli 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan dekrit mengenai pembubaran parlemen, DPR dan MPR serta pembekuan Partai Golkar. Di luar Istana, sekitar 40 ribu tentara diterjunkan untuk mengamankan ibukota. 

Pada 23 Juli 2001, Kubu Amien Rais, Akbar Tandjung dan Megawati Soekarnoputri melayani keputusan Gus Dur dengan menggelar Sidang Istimewa MPR saat itu juga. MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

sumber:
1. nasional.news.viva.co.id
2. tempo.co.id
3. tempo.co.id
4. library.ohiou.-edu
5. pdip.www2.50megs.com
6. id.wikipedia.org
7. media.isnet.org

8. kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id

Recent Posts