Selasa, 28 Juni 2016

Indonesia Mencapai Madagaskar Jauh Sebelum Columbus Temukan Amerika



Perahu kuno di dinding Candi Borobudur ini
digunakan berlayar ke Madagaskar














Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang fenomenal, para penjelajah laut Nusantara ternyata sudah lebih dulu melintasi sepertiga bola dunia. Diperkirakan sejak awal masehi nenek moyang Indonesia sudah menemukan Madagaskar dan pada abad kelima masehi telah membangun pemukiman di pulau itu.              
            Menurut Afrikanis dari Inggris, Robert Dick-Read, pemukiman itu baru terbentuk sesudah penduduk baru menghabiskan periode panjang di Afrika dan mengembangkan beberapa jenis ras  ‘Afro-Indonesia’ atau ‘Afro-Malagasy’.
            Hal senada juga diungkapkan oleh Prof Dr Timbul Haryono MSc Arkeolog, Dekan Fakultas Ilmu Kebudayaan UGM. Peneliti yang pernah mengunjungi pulau seluas 592.800 km2  itu mengatakan, mereka diduga telah ada di Madagaskar sekitar 1.500 atau 2.000 tahun meskipun dari artefak batu yang ditemukan menunjukkan adanya kemungkinan budaya lain yang pernah hidup. Bangsa Malagasy yang mendiami Pulau Madagaskar sekarang ini adalah percampuran bangsa Asia-Afrika.
            Hampir sebagian besar imigran yang datang ke Madagaskar merupakan bangsa Melayu-Polinesia yang telah mengarungi Lautan Hindia dari Indonesia dan Asia Tenggara. Sebagian imigran yang lain adalah dari Afrika, serta para pedagang Arab, India, dan Portugis. Meskipun demikian, tampak sekali bahwa imigran yang pertama berasal dari Asia Tenggara atau Indonesia.
            Prof. Herawati Sudoyo, peneliti di Eijkman Institute for Molecular Biology, mengungkapkan bahwa berdasarkan tes genetik disimpulkan bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar tak lain adalah orang Indonesia. Dalam jurnal Proceedings of The Royal Socety (April, 2012), ia bersama empat peneliti lain dari New Zealand, Arizona dan Perancis, mengungkapkan bahwa koloni di Pulau Madagaskar dimulai oleh sekelompok kecil perempuan Indonesia.
            Sekitar 28 wanita Indonesia (tentunya bersama para pria) melakukan perjalanan ke Pulau Madagaskar pada 1.200 tahun lalu. "Mereka termasuk golongan founder, yang berarti mereka yang membangun koloni pertama kali,"  ujar Prof. Herawati Sudoyo, peneliti di Eijkman Institute for Molecular Biology, Jl. Dipenogoro 69 Jakarta, Senin (16/4/2012).
            Menurutnya, koloni Madagaskar merupakan kejadian yang sangat penting dalam sejarah pengembaraan manusia. Banyak asumsi yang telah menjadi pijakan para peneliti untuk menguji sejarah nenek moyang penduduk Madagaskar.
            "Salah satu latar belakang studi ini adalah kondisi penduduk Madagaskar yang memiliki kemiripan dengan orang Indonesia, baik secara fisik, wajah, maupun dalam latar belakang bahasa dan budaya," ujarnya.
            "Penelitian yang kita lakukan adalah melalui pencocokan DNA, yaitu 2.745 DNA penduduk Indonesia dengan 266 penduduk asal Madagaskar. Walau hasilnya sudah diperoleh, tapi baru DNA yang wanitanya, kami harus juga melakukan pencocokan DNA pada pria Indonesia dan Madagaskar,"tuturnya.
            Seorang warga Madagaskar, Brigadir Jenderal Richard Rakotonirina, seorang tentara di negara itu, menyatakan tidak lupa bahwa nenek moyangnya merupakan orang keturunan Indonesia. Hal itu diungkap Rakotonirina, saat berbincang dengan VIVAnews di ruang assembly hall, Jakarta Convention Center (JCC), Selasa malam, 20 Agustus 2013 usai penutupan Kongres II Diaspora.
            Saking cintanya terhadap Indonesia, dia belajar Bahasa Indonesia di Puspasa Kementerian Pertahanan, Bandung tahun 2000 silam. "Saya ini warga murni Madagaskar, tapi pernah mengikuti pendidikan militer di Bandung tahun 2010 lalu. Saat itu saya ikut sekolah staf dan komando Angkatan Darat di Bandung, lalu ikut pendidikan juga di Lembaga Ketahanan Naisonal tahun 2011," ungkap Rakotonirina.
            Dalam kesempatan itu, Rakotonirina berkisah soal keterkaitan yang erat antara Madagaskar dengan Indonesia. Dia bertutur itu semua dimulai pada abad ke-7 hingga abad ke-12.  "Saat itu ada penelitian yang menyebut pada periode itu orang Nusantara sudah berlayar hingga ke Madagaskar," kata dia. Sehingga menurut dia, tidak heran apabila 70 persen dari 22 juta warga Madagaskar merupakan keturunan Indonesia. Sisa kebudayaan Indonesia bahkan disebut Rakotonirina masih terlihat hingga sekarang.
            Dalam pandangan Robert Dick-Read berkaitan dengan masuknya orang Indonesia ke Madagaskar, ada fakta yang menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal di Madagaskar terdiri dari orang-orang yang menggunakan bahasa Austronesia. Struktur bahasa orang-orang ini lebih dekat dengan bahasa kepulauan timur yang berjarak 22.500 km, daripada dengan bahasa Afrika yang hanya berjarak 400 km di balik saluran Mozambique. Yang sekarang agak pasti adalah bahwa orang-orang yang tinggal di Madagascar yang lebih dulu mapan di pantai Afrika, memiliki kosa kata, kebiasaan dan genetik Afrika campuran.  
            Lalu ada pertanyaan apakah orang-orang laut Indonesia hanya berhenti di Madagaskar dan Afrika Timur saja? Philip Beale, yang pernah mengadakan ekspedisi dari Indonesia ke Madagaskar dan Afrika Barat dengan kapal replika dkapal kuno Indonesia pada tahun 2002, menampiknya.
            Menurut dia, orang Indonesia saat itu tidak hanya menginjakkan kakinya di Madagaskar saja tapi juga di Afrika Barat. Sementara disetujui secara luas orang-orang Indonesia berlayar ke Afrika Timur, tidak ada bukti yang kuat bahwa mereka telah melakukan perjalanan melewati Tanjung Harapan menuju Afrika Barat.
            Akan tetapi ada bukti tidak langsung  yang bisa digunakan dalam hipotesis  bahwa pelayaran yang berbahaya ini telah terjadi. Buktinya bisa ditunjukkan dari pengaruh budaya yang masih ada di Afrika Barat sekarang ini, seperti alat musik gambang (xylophone).
            Lagi pula, ada bukti botanik di bagian Afrika Barat. Contoh-contoh masuknya botani Indonesia telah mencapai Afrika Barat menjelang abad 1 Masehi meliputi ubi, pisang, padi dan kacang betel. Masuknya tanaman-tanaman ini tampaknya melalui laut agaknya daripada melalui daratan dari Afrika Timur.
             
Jejak Pemukiman Nusantara
            Jejak paling nyata adanya pemukiman nusantara di Madagaskar pada masa lampau itu, menurut Mamak Sutamat dalam situs unisosdem.org, bisa dilihat dari bentuk wajah, sorot mata, warna kulit, rambut, bentuk tubuh, dan bahasa sebagian besar bangsa Madagaskar yang mirip bangsa Indonesia. Sebagian lainnya berkulit hitam bak bangsa Afrika daratan, lengkap dengan rambut keritingnya, sebagian lagi mengambil wajah India dan Komoro.
            Lebih jauh dia mengungkapkan, dari makanan dan cara memasaknya juga tak banyak beda. Singkong, ubi jalar, talas, semua jenis sayuran, buah mangga, lengkeng, jeruk, nangka, jambu mete, bahkan kemiri pun ada seolah tumbuh begitu saja, menyebar nyaris di seluruh Madagaskar. Cara memasaknyapun aa kesamaan.
            Menurut Romo Marbun, di Badagaskar kita akan menemukan budaya daerah Tapanuli, Aceh, Jawa, Bajo, Melayu, Flores, Dayak, dan lain-lain. Setiap daerah memiliki ciri budaya khas dan gampang ditengarai dengan nama kotanya. Misalnya, ada kota bernama Ramli Marantsetra yang dihuni penduduk yang kemungkinan berasal dari keluarga Ramli, tokoh Suny dari Aceh; Ambu Malasa yang berpenduduk asal Malaya; dan beberapa kota lain yang jika dirunut melalui kebiasaan penduduknya bisa menandakan dari mana kemungkinan mereka berasal.Semua suku dari Indonesia tersebut akhirnya bercampur dengan budaya bangsa Komoro yang sekaligus membawa agama Islam dan India.
            Menurut Prof Dr Timbul Haryono MSc Arkeolog, penelitian yang pernah dilakukan oleh Otto Chr Dahl,  menunjukkan bahasa Malagasy banyak mendapat pengaruh dari kata-kata dalam bahasa Melayu dan bahasa Sanskerta. Beberapa contoh kata-kata dalam bahasa Malagasy yang mirip dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa, seperti dalam kata bilangan: roa (Mlg) = dua (2); telo (Mlg, dibaca telu) = telu (3); fito (Mlg, dibaca fitu) = pitu (7); valu (Mlg) = wolu (8). Kata-kata lain yang memiliki kemiripan antara lain: mora (baca mura) = murah (bhs Jawa); vulan = wulan (bhs Jawa); vato (baca vatu) = watu (bhs Jawa); aho (baca ahu) = aku (bhs Jawa); sofina (baca sufin) = kuping (bhs Jawa).
            Ada juga beberapa kata yang mungkin serapan dari bahasa Sanskerta.  Dahl sampai pada kesimpulan bahwa nenek moyang orang Malagasy datang dari Indonesia. Peristiwa migrasi tersebut telah terjadi sekitar abad ke-7 Masehi.
            Penelitian yang dilakukan oleh Adelaar juga menunjukkan adanya kata-kata bahasa Malagasy yang menyerap kata-kata bahasa Melayu, seperti: horita = gurita; fano (baca fanu) = penyu; hoala = kuala; tanjona = tanjung; varatra = barat; firaka = pirak; hihy = gigi; fify = pipi; molotra = mulut; haranka = kerangka.
            Warga Madagaskar, Brigadir Jenderal Richard Rakotonirina juga menunjukkan adanya kemiripan bahasa Indonesia dengan Bahasa Madagaskar. "Contohnya dalam Bahasa Madagaskar, kami menyebut tenun. Dalam Bahasa Indonesia pun juga begitu. Kata mati dan hati, juga punya arti yang sama," papar dia.
            Jauh pada masa pergerakan Indonesia, tokoh pergerakan nasional Indonesia M. Yamin, sudah mengungkapkan banyak kesamaan antara Bahasa Indonesia dan Madagaskar. Yamin menyontohkan, “Kerajaan Indonesia di Madagaskar yang telah dijadikan museum namanya: Rua. Perkataan Indonesianya: ruang, balairung.”
            Contoh lain, “sebutan untuk bilangan dua, tiga, empat, lima. Dalam bahasa Malagasi disebut rua, telu, efat, dan limi. Ini mirip ucapan bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Bali,” tulis Tempo, 21 September 1991. “Lalu kata anak, mati, padi, dan tembok dalam bahasa Malagasi disebut anaka, maty, pary, dan tambuk.”
            Bahasa Indonesia tenyata bukan saja sebagai bahasa yang menyatukan penduduk Indonesia, tetapi menjadi bahasa yang berjasa dalam pembentukan bahasa pada bangsa lain. Penduduk Pulau Madagaskar, menjadi penduduk dengan akar sejarah bahasa Indonesia.
            "Bahasa Malagasi (penduduk Madagaskar), merupakan satu-satunya bahasa dalam rumpun Austronesia di Afrika," ujar Prof. Herawati Sudoyo, peneliti di Eijkman Institute for Molecular Biology, Jl. Dipenogoro 69 Jakarta, Senin (16\/4\/2012).
            Herawati juga mengatakan, karena pengaruh kedatangan orang-orang Sriwijaya, mereka juga banyak meminjam kata dari bahasa Sanskrit (modifikasi bahasa melayau dan jawa kuno) yang dulu dipakai pada zaman Kerajaan Sriwijaya.
            Ia mencontohkan, kata ‘lapa’ dalam malagasi berasal dari kata sanskrit ‘mandapa’, yang berarti istana atau beranda terbuka. Kata ‘s-um-undrara’ dalam malagasi, berasal dari kata ‘sundara’ dalam sanskrit, yang berarti tampan. “Kata pinjaman dari Sanskrit memberikan indikasi Madagaskar dihuni oleh pemukim dari Kerajaan Sriwijaya pada abad 6 sampai 13 Masehi,” imbuhnya.
            Dari asal mula bahasa malagasi (Madagaskar) yang meminjam bahasa sanskrit (Indonesia), para peneliti mendapati bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. "Kelompok yang memiliki bahasa sama, umumnya berasal dari nenek moyang yang sama pula," ungkapnya.
            Musik dan instrumen musik memberikan hubungan yang menarik dan penting, khususnya yang dapat dilihat di Afrika Selatan, antara Indonesia dan Afrika. Sebagai contoh, di wilayah Zambezi yang lebih rendah, terdengar sayup-sayup suara seruling  Nyungwe. Instrumen musik ini identik dalam bentuk dengan instrumen Vanuatu dan Kepulauan Solomon, tapi yang juga pernah dimainkan di Jawa, Flores, Timor dan New Guinea. Tapi instrumen Afrika yang paling dikenal yang dimainkan di sebagian besar tanah Afrika mulai dari Mozambique sampai Senegal adalah xylophone (gambang), yang oleh banyak ahli musik saat ini disetujui sebagai berasal dari indonesia.

Recent Posts