Rumah tradisional Aceh memiliki
arsitektur yang khas dan unik. Seperti kebanyakan rumah tradisional
daerah lainnya di Indonesia, rumah adat Aceh atau yang disebut Rumoh
Aceh atau Krong Bade merupakan rumah panggung.
Biasanya rumoh Aceh memiliki ketinggian
sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah. Untuk memasukinya harus menaikit
beberapa anak tangga. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di
dalamnya, untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.
Rumoh Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an) yang berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja-raja Pidie, Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van Laweung) memiliki 80 tiang, sehingga sering disebut dengan rumoh Aceh besar. Ukuran tiang-tiang yang menjadi penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20 - 35 cm.
Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa pun yang masuk harus sedikit merunduk. Makna dari merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya.
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian,
tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi
terhadap alam. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat
dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang
penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan,
dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika
hendak menggabungkan bagian-bagian rumah yang tidak menggunakan paku
tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun
hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan
paku, rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh
terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi
rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu
bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang
sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh
untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah.
Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan
tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah
ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah
ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari
keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan
rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin
banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin
kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka
cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama
sekali.
Pembagian ruangan dalam Rumah Krong
Bade terdiri dari 4 bagian yaitu bagian bawah, bagian depan, bagian
tengah, dan bagian belakang. Setiap ruang memiliki fungsi
masing-masing.
1. Ruang
Bawah digunakan untuk menyimpan barang-barang pemilik rumah seperti
padi atau hasil panen lainnya. Selain itu, ruang bawah juga pusat
aktifitas bagi kaum perempuan yaitu membuat kain khas Aceh dan
sebagai tempat menjual kain tersebut.
2. Ruang depan berfungsi sebagai ruang
santai. Ruangan ini bisa dipakai untuk beristirahat bagi anggota
keluarga dan juga bagi kegiatan yang sifatnya santai seperti
anak-anak belajar. Ruang depan juga bisa dipakai untuk menerima tamu.
Ruang depan tidak memiliki kamar.
3.
Ruang tengah atau biasa disebut sebagai seuramoe teungoh adalah
ruangan inti dari Rumah Krong Bade dan karena itu, ruangan ini juga
dikenal sebagai rumah inong. Ruang tengah memiliki beberapa kamar di
sisi kiri dan sisi kanan. Letaknya lebih tinggi daripada ruang depan.
4. Ruang belakang atau yang biasa
disebut sebagai seurameo likot adalah ruang santai untuk keluarga.
Ruangan ini letaknya lebih rendah daripada ruang tengah dan berfungsi
sebagai dapur serta tempat keluarga bercengkramah. Ruang belakang
sama seperti ruang depan yang tidak memiliki kamar