Paling sedikit tiga orang pemilik media massa nasional
telah terjun ke dunia politik. Mereka adalah Surya Paloh, pemilik
Metro TV dan media grup, dan Aburizal Bakrie pemilik Anteve dan TV One. Keduanya mengendalikan
televisi yang berbasis pada berita dan penyebaran informasi yang menuntut
independensi yang tinggi. Karena itulah muncul kekhawatiran di kalangan
masyarakat, pemberitaan di media milik
mereka menjadi bias kepentingan politik.
Pertanyaan yang sama muncul pada diri Surya Paloh. Aktivis
partai Golkar itu kini punya Partai Nasional Demokrat yang siap bertarung dalam
pemilu tahun 2014. Lebih dari itu dia
juga berhasil merangkul Harry Tanoesoedibijo, pemilik tiga stasiun televise: RCTI,
Global TV, dan MNC TV untuk gabung ke partai yang didirikannya. Tentu
pertanyaan untuk Bakrie berlaku untuk Surya Paloh dan Harry Tan.
Yang juga perlu diperhitungkan adalah Dahlan Iskan, raja
pers pemilik Grup Jawa Pos. Ia tampaknya juga berambisi menjadi presiden.
Bedanya tokoh yang kini menjabat sebagai Menteri BUMN itu tak memiliki partai.
Ia tampaknya menunggu dipinang partai yang ada, atau mungkin maju melalui jalur
independen.
Baik Aburizal Bakri, Surya Paloh, maupun Dahlan Iskan bukanlah
sekedar pengusaha, tapi mereka adalah taipan atau pengusaha besar yang usahanya
menggurita. Kalau Pak Harto saja yang hanya bermodal kekuasaan politik bisa
mendominasi Indonesia sampai 30 tahun, bagiamana lagi dengan seorang
figure yang tak hanya memiliki kekuasaan politik tapi juga media dan uang?
Maka kita memang harus berhati-hati menyikapi tampilnya ketiga
tokoh itu dalam pentas politik kita. Baru menjadi Ketua Partai saja, dampaknya
sudah mulai kentara pada media mereka masing-masing. Sebagai contoh Metro TV
cukup sering menyiarkan kegiatan politik Surya Paloh baik ketika di Golkar
maupun saat di Nasional Demokrat. Sering
berhadapan dengan partai lain, Metro TV tampak sering sangat galak, khususnya
terhadap Golkar maupun pemerintahan SBY yang didukung Partai Demokrat.
Sebaliknya stasiun televisi ini terlalu menonjol-nojolkan aktivitas bosnya
sendiri. Sementara Anteve dan TV One sangat lunak dan bahkan berpihak
ketika berhadapan dengan isu PSSI Nurdin Khalid dan kasus Gayus Tambunan.
Hal semacam juga terjadi pada medianya Harry Tan.
Aliansi Jurnalis Independen menerima sejumlah keluhan dari
masyarakat menyangkut pemberitaan bertendensi mengabaikan aspek keberimbangan,
obyektivitas, dan dikhawatirkan mengancam independensi wartawan. Seperti
diketahui, menjelang Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya (Munas Golkar)
4-7 Oktober 2009, muncul paket pemberitaan yang diwarnai persaingan politik
dari dua pemilik media televisi berita, yakni TVOne dan METRO TV. Jakarta,
29 September 2009
Hal senada juga diungkapkan Ezki Suyanto, Koordinator Bidang
Isi Siaran KPI Pusat. Ia menyatakan
bahwa KPI Pusat mendapat banyak pengaduan mengenai netralitas pemberitaan di
dua stasiun TV berita itu (Metro TV dan TV One). Ezki menyampaikan kekuatiran,
jika kondisi pemberitaan tidak berimbang dan mengundang banyak kritik maka
dikhawatirkan kebebasan pers yang sudah dinikmati selama ini dapat terampas.
Tapi sayangnya KPI tak melakukan tindakan apapun. Dari lebih 50 peringatan tertulis
yang dilayangkan KPI kepada manajemen TV, tak satupun menyangkut masalah
politik. Umumnya berkisar pada masalah kekerasan, pornografi, klasifikasi
acara, dan mistik.
Akhirnya kita semualah yang menentukan apakah perlu
seseorang yang sudah memiliki uang dan kekuasan media yang begitu besar, masih
akan kita beri kekuasaan politik. Ingat kekuasaan absolute akan cenderung
korup.
Sumber:
http://www.sabili.co.id/aspirasi-anda/statemen-aji-soal-pertempuran-politik-tvone-vs-metro-tv