Kampanye hitam sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa bulan sebelum
pemilihan legislatif 9 April 2014.
Kampanye yang berbasis fitnah tanpa fakta ini terus menggelinding sampai
menjelang pilpres 9 Juli 2014. Dan dampaknya luar biasa. Akibat kampanye hitam
PDIP yang sebelumnya diramalkan bisa meraih suara dalam pileg di atas 25% hanya
bisa menang dengan angka sektiar 19% saja.
Seperti dilansir tempo.co, ada 9 kampanye hitam yang
kemungkinan menjadi pengikis suara PDIP, yaitu:
1. Jokowi Yes, PDIP No
Isu ini beredar di kalangan kelompok menengah perkotaan
sekitar sepekan sebelum pencoblosan. Dalihnya, banyak politikus PDIP yang korup
sekaligus menciptakan check and balances jika Jokowi menjadi presiden nanti. Sekretaris
Jenderal PDIP menyatakan isu itu merupakan bagian dari manuver intelijen.
Tanggapan pun muncul dari Koordinator Kader dan Simpatisan PDIP Pro Jokowi
(Projo) Budi Arie Setiadi dan Jokowi. “Yang benar adalah Jokowi Yes, PDIP Yes,”
kata Jokowi pada 3 April 2014.
2. Jokowi Presiden Boneka
Calon presiden dari Partai Gerindra Prabowo Subianto
menyindir Jokowi sebagai calon presiden boneka yang diduga akan diintervensi
oleh Megawati. Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristyanto menjawab pada
Maret 29 Maret 2014 dengan menyatakan, "Jokowi memang calon presiden
wayang, tapi dalangnya rakyat."
3. Putra Sulung Jokowi Terima Suap
Putra sulung Jokowi dituding menerima Rp 2 miliar dana suap
proyek busway. Informasi tanpa sumber yang jelas ini menyebutkan bahwa Michael
Bimo Putranto, bekas Ketua Tim Sukses Jokowi di Solo pada 2005, yang memberikan
uang itu. Nama Bimo pertama muncul di majalah Tempo dalam laporan utama
mengenai proyek pengadaan 656 bus asal Tiongkok untuk busway senilai Rp 1,5
triliun yang bermasalah.
Kabar semakin hangat dan seolah benar karena disebutkan juga
bahwa informasi soal putra sulung Jokowi itu diperoleh dari sumber internal
Tempo. Tempo sendiri tak memiliki informasi tadi, apalagi menyebarkan informasi
tak jelas tersebut. Jokowi juga telah
membantah tudingan itu. “Namanya isu politik, diaduk-aduk itu biasa. Dapet aja
mereka isunya,” kata Jokowi pada 8 April 2014.
4. Jokowi Presiden, Menteri Agama dari Kaum Syiah
Isu ini dikaitkan dengan pakar ilmu komunikasi Jalaluddin
Rahmat, penganut Syiah yang juga calon anggota DPR dari PDIP di daerah
pemilihan Kabupaten Bandung dan Bandung Barat (Jawa Barat II).
Eriko Sotarduga mengatakan partainya enggan menanggapi
kampanye hitam yang menyerang partai. Alasannya, isu akan menjadi bola liar
bila PDI Perjuangan menanggapi. Eriko mengatakan PDIP ingin menunjukan cara
politik yang santun tanpa menjelek-jelekkan kelompok lain.
5. Jokowi Penganut Syiah
Dalam blog Kompasiana pada 20 Maret 2014 muncul informasi
bahwa istri Jalaluddin Rahmat yakin suaminya masuk daftar calon legislatif dari
PDIP karena Jokowi juga penganut Syiah. Kang Jalal, begitu nama panggilan
Jalaluddin, berada di nomor urut dalam daftar calon legislatif PDIP di daerah
pemilihan Jawa Barat II.
Menurut penuturan Teten Masduki kepada Tempo pada Maret
lalu, posisi itu sedianya jatah suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri,
Taufiq Kiemas. Setelah Taufiq meninggal, posisi itu ditawarkan kepada Teten.
Namun, mantan calon Wakil Gubernur Jawa Barat itu menolak. “Saya tak cocok di
parlemen,” ujar Teten.
PDIP, kata Eriko, enggan menanggapi tuduhan ini. "Lebih
baik kita intropeksi diri. Ketika satu jari menunjuk ke depan, tiga jari
lainnya mengarah ke kita," kata Eriko.
6. Foto Jokowi Bayi di Gendongan Megawati
Sepekan sebelum pemilu legislatif beredar di media sosial
foto rekayasa Jokowi menjadi bayi yang digendong Mega. Foto ini seakan
menegaskan tuduhan Jokowi berada di bawah bayang-bayang Mega.
Menurut Eriko, melihat rekam jejak Jokowi, pemerintahan
Jokowi tak akan menungkin diintervensi oleh Mega. Buktinya, Jokowi tak pernah
disetir selama dua periode memimpin Kota Solo dan saat menjadi Gubernur DKI
Jakarta.
7. PDIP Pengkhianat Perjanjian Batu Tulis
Prabowo menyatakan bahwa dalam perjanjian Batu Tulis pada
2009, Mega sepakat mendukung Prabowo menjadi calon presiden pada 2014 jika
dirinya tak mencalonkan diri. Dengan mengajukan Jokowi sebagai calon presiden,
Mega dan PDIP dianggap mengkhianati perjanjian. Atas tuduhan Prabowo, PDIP
membantah ada poin perjanjian itu.
8. PDIP Tukang Jual Aset Negara
Isu ini mengacu pada penjualan sejumlah aset negara, antara
lain perusahaan telekomunikasi Indosat, ketika Mega menjabat Presiden RI pada
2001-2004.
Eriko mengatakan penjualan aset-aset tersebut dilakukan atas
dasar Ketetapan MPR. Sebagai mandataris MPR, kata Eriko, Megawati kala itu tak
bisa berbuat apa-apa dan hanya melaksanakan amanat TAP MPR.
9. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan Waktu Pemerintahan
Megawati
Eriko menjelaskan masalah sengketa Sipadan dan Ligitan sudah
ada sejak zaman Orde Baru. Ketika Megawati menjadi presiden, kasus itu sudah
masuk ke Mahkamah Internasional dan tinggal menunggu keputusan.
Pengaruh kampanye hitam terhadap elektabilitas Jokowi, diungkapkan
dalam Survei Indikator Politik Indonesia.
Selain 9 tema kampanye hitam yang disebutkan di atas, Jokowi diserang kampanye
hitam lewat isu SARA seperti Jokowi
keturunan Tionghoa dan Kristen serta anti-islam. "Kampanye hitam terkait isu Kristen dan Tionghoa
ternyata efektif menurunkan elektabilitas Jokowi," kata Direktur Eksekutif
Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam Seminar Nasional
"Memilih Presiden yang Pro Kelestarian Lingkungan dan HAM", di
Jakarta, Rabu.
Menurut Burhanuddin, tren Jokowi masih unggul namun dukungan
antara Jokowi dengan pesaingnya, Prabowo semakin mengecil karena elektabilitas
Prabowo justru semakin meningkat.
"Elektabilitas Prabowo tidak terganggu dengan isu
pelanggaran HAM. Elektabilitasnya lebih tinggi di kalangan masyarakat yang tahu
tentang isu pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan Prabowo dibandingkan dengan
yang tidak tahu dan kebanyakan dari mereka yang tahu itu adalah kalangan kelas
menengah," jelas Burhanuddin.
"Bagi kalangan kelas menengah itu artinya isu
pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan Prabowo tidak penting untuk jadi pertimbangan.
Ini yang saya sebut anomali kelas menengah," tambahnya.
Dalam survei top of mind, Jokowi masih unggul namun posisi
Prabowo semakin mendekat. Elektabilitas Jokowi turun dari survei bulan Maret
2014, yang saat itu mendapatkan 32,5 persen, sementara Prabowo pada saat itu
baru di angka 11,4 persen. Lalu elektabilitas Jokowi turun lagi sebesar 31,8
persen sedangkan Prabowo menyusul di bawahnya dengan 19,8 persen.
"Dukungan terhadap Prabowo kuat di wilayah kota dengan
tingkat pendapatan pemilih di atas Rp1 juta sedangkan benteng pertahanan Jokowi
di desa," terang Burhuddin.
"Untuk mendongkrak tren turun ini, tim Jokowi butuh
energi tiga kali lipat," tambahnya.
Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia, jumlah
masyarakat yang menginginkan pemimpin jujur semakin berkurang. Pada tahun 2013
menunjukkan 60 persen masyarakat memilih pemimpin jujur namun pada tahun 2014
menjadi 40 persen.
Akibat kampanye hitam itu pasangan Jokowi Widodo – Jusuf Kalla
dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014 hanya menang tipis terhadap Hatta Rajasa dan Joko
Widodo-Jusuf Kalla.