Kesultanan
Aceh dikenal sebagai negeri yang kental dengan nuansa Islamnya. Karena itulah
sejak lama negeri ini dijuluki Serambi Mekkah. Namun yang mengejutkan adalah
peranan para wanitanya yang mungkin sangat kontras dibanding dengan negeri atau
kerajaan-kerajaan Islam lainnya.
Di
kebanyakan negeri yang berlandaskan syariah Islam, wanita umumnya memiliki fungsi domestik.
Mereka umumnya berada di rumah sambil menjalankan fungsi mengurus rumah tangga
dan mengasuh anak. Jarang sekali wanita yang keluar rumah untuk bekerja,
apalagi berperang.
Namun sejarah
panjang Aceh membuktikan bahwa para wanita Aceh telah mendarmabaktikan dirinya
dalam berbagai bidang. Bahkan wanita Aceh seringkali menduduki jabatan pemimpin
di tingkat paling rendah sampai dengan pemimpin tertinggi di masyarakat.
Dalam
struktur masyarakat, wanita mempunyai
otonomi yang cukup, yang mana tampak pada sebutan po rumoh bagi wanita. (Sufi,
1997). Hal ini berakibat para wanita memiliki keleluasan dalam memilih peranan
di masyarakat, termasuk untuk menjadi pemimpin.
Tak aneh
jika banyak bermunculan wanita yang menjadi Sultanah (wanita kepala
pemerintahan Kerajaan Aceh), laksamana (pemimpin angkatan perang), uleebalang
(kepala kenegerian) dan tidak sedikit yang berperan sebapai pemimpin perlawanan
terhadap penjajah.
Bahkan
sejarah menunjukkan setelah era
Sultan Iskandar Tsani, Kesultanan Aceh sebanyak empat kali berturut-turut
dipimpin oleh wanita. Ketika Sulta Iskandar Tsani mangkat pada tahun 1641, ia
digantikan Sultanah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam,
istri dari Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda.
Ratu yang
dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini
memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa
pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari pihak
asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana.
Masa
pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu
tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan keluarbiasaan
yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan
sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah
rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.
Pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam
Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan
oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka
Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang
menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya.
Konon,
dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din
Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan
oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi
al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang
Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678.
Dua
pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam
masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat
Syah (1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat
al-Din (1688-1699).
Selama
pemerintahan Kesultanan Aceh dipimpin oleh Taj'ul alam (1641-1875) Aceh begitu
damai, stabil, dan aman. Tiga penguasa wanita lain yang menggantikannya tak
menghadapi masalah serius dari masyarakatnya. Aceh tak bermasalah dengan
kepemimpinan perempuan.
Tapi Arab
Saudi akan menentang ide ini sejak dulu sampai hari ini. Pada tahun 1699,
sekelompok pedagang Arab menggunakan pengaruhnya di kesultanan untuk menekan
"pemerintahan wanita" dan memasang pemimpin berdarah Arab di tahta.
Sejak itu Kesultanan Aceh mengalami penurunan.
Peran
wanita di Aceh di medan
perang secara panjang lebar telah diuraikan oleh H.C. Zentgraff. Dia menyebut
para wanita Aceh sebagai “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) dan
grandes dames (wanita-wanita besar). Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh
melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita
kebangsaan dan keagamaannya. Mereka bisa berada di belakang layar maupun secara
terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan tersebut. Mereka rela hidup susah
dan menderita di kancah peperangan.
Di balik
tangan yang lemah gemulai, kulit halus, kelewang dan rencong dapat menjadi
senjata yang berbahaya di tangan wanita Aceh. Zentgraaff (1983: 95) menyatakan
kelebihan yang dipunyai oleh wanita Aceh dengan pernyataan sebagai berikut:
“Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah
melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok Kepulauan Indonesia, tidak ada
bangsa yang lebih pemberani perang dan fanatik, dibandingkan dengan bangsa
Aceh, dan kaum wanita Aceh yang melebihi kaum wanita bangsa lainnya, dalam
keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki
Aceh yang sudah dikenal bukanlah laki-laki lemah dalam mempertahankan cita-cita
bangsa dan agama mereka”.
Salah
satu Srikandi Aceh yang sesuai dengan gambaran H.C. Zentgraff di atas adalah
Cut Nyak Dhien. la adalah seorang wanita yang mempunyai peran penting dalam
perjuangan dan perlawanan rakyat Aceh dalam menentang kolonialisme Belanda.
sumber:
1. rindamiskandarmuda.mil.id
2. Krishna ,
Anand, Touth Challenges and Empowerment, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
3. www.atjehcyber.net
3. www.atjehcyber.net