Ketika
menjadi anggota Fraksi PDI DPR
RI Komisi IV (1987-1997), penampilan Megawati
sebagai wakil rakyat sama sekali tidak mengesankan. Selain karena sifat
pendiamnya, ia memilih tidak menonjol. Tampaknya ia lebih suka melakukan
lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat.
Lobi politiknya, yang silent
operation, diam-diam justru mengokohkan akar Megawati di dunia politik. Karena "kediamannya" itulah ketika pada tahun 1993 terpilih
menjadi Ketua Umum DPP PDI, dia membuat kaget banyak orang, termasuk pemerintah
pada saat itu.
Ada cerita menarik pada proses naiknya Mega. Ketika itu, Kongres PDI di
Medan berakhir ricuh dan tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Padahal saat itu
pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi.
Kongres itu dilanjutkan dengan
menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega tiba-tiba
muncul dan terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDIP. Sementara Budi
Hardjono, yang didukung oleh pemerintah, tersingkir. Status Mega sebagai Ketua
Umum PDI dikuatkan lagi dalam Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan menganggap terpilihnya Megawati tidak sah.
Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung gerakan
mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan
pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk
menaikkan kembali Soerjadi.
Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Ia dengan tegas menyatakan tidak
mengakui Kongres Medan
dan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai
Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol
keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para
pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha
mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah melontarkan
ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian
menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar
merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega.
Aksi
penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut
pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli.
Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.
Peristiwa
penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin
mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas
di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun pecah menjadi PDI
di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai
Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa
PDI lebih berpihak pada Mega.
Keberpihakan massa
PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah
Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa
Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah
"Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu.
Setelah rezim Orde Baru tumbang,
PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng
gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih
lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi
yang diunggulkan sebagai presiden.
Megawati, Gus Dur, Poros Tengah
Namun MPR yang saat itu dikuasai Koalisi
Poros Tengah tampaknya tidak mendukung Megawati. Untuk menolak Megawati, mereka
menggiring opini seolah-olah terjadi pertentangan tajam antara kubu Megawati
dengan kubu Habibie. Menurut elit-elit Poros Tengah memilih salah satu di
antara keduanya akan menghadapi ancaman pengikut setia kedua tokoh tersebut.
Dengan licik Poros Tengah mengajukan Gus Dur sebagai capres alternatif.
Memang sejak awal Poros Tengah
tidak menginginkan Megawati menjadi presiden. Pemimpin utama Poros Tengah saat
itu yang juga Ketua Umum PAN, Amien Rais dan elit-elit Poros Tengah lainnya beberapa
kali melemparkan isu yang menyudutkan Megawati. Di antaranya Kelompok ini membangun wacana "fatwa haram"-nya seorang wanita sebagai Presiden.
Seperti
yang diungkapkan "Kadir Jaelani" <merdeka99@hotmail.com>
dalam forum: apakabar@saltmine.radix.net, 26 Oktober 1999, manuver Amien Rais yang
menyudutkan Megawati dilakukan sejak Kongres di Bali sampai dengan terpilihnya
Megawati sebagai Wapres. Sebagai
contoh ketika presiden Habbie dan
orang-orang Golkar dilanda isu suap Bank Bali, Amien Rais memunculkan juga kasus Lippogate, untuk membalas
mencuatnya kasus Bank Bali. Tetapi setelah
kasus BB mereda, kasus Lippogate juga mereda. Ia mempertanyakan kenapa setiap
ada kasus yang menyangkutkan
PDI-P, Amien ikut-ikutan? "Di sinilah letak tidak obyektifnya Mas Amien terhadap mbak Mega dan PDIP-nya,"
ulasnya.
Dalam situasi Indonesia
dibelit krisis ekonomi, ia mempertanyakan, "Kapan Indonesia ini
bisa bangkit dari krisis dan mulai membangun? Kalau
cara-cara gontok-gontokan dan jegal-menjegal seperti yang dilakukan oleh mas
Amien ini masih dilanggengkan diIndonesia ? Apakah masih pantas mas
Amien
menjabat sebagai ketua MPR dengan segala manuvernya yang jelas-jelas masih
kekanak-kanakan itu?"
cara-cara gontok-gontokan dan jegal-menjegal seperti yang dilakukan oleh mas
Amien ini masih dilanggengkan di
menjabat sebagai ketua MPR dengan segala manuvernya yang jelas-jelas masih
kekanak-kanakan itu?"
Dalam hal pengajuan Gus Dur, pengirim milis tersebut
menganggap itu sebagai pemaksaan. Karena saat itu Gus Dur mengalami kendala
fisik dalam hal kebutaan dan ia baru saja terkena stroke. Ia
mempertanyakan apa sudah dipikirkan bahwa sebenarnya cacat fisik Gus Dur
tersebut tidaklah sesuai dengan UUD 45, yang mengatur untuk menjadi presiden RI
seseorang harus sehat jasmani.
Poros Tengah yang terdiri dari partai-partai Islam PAN, PKB, PPP, PKS, Partai Bulan Bintang dan didukung Golkar akhirnya memang mengajukan Gus Dur melawan PDIP yang sendirian mengusung Megawati dalam Sidang Umum 1999. Megawati akhirnya kalah tipis dalam voting pemilihan presiden dengan perbandingan suara 373 banding 313 suara.
Poros Tengah memang akhirnya ikut mewarnai kabinet Gus Dur. Penulis milis
"Faried Basalamah" dalam forum apakabar@saltmine.radix.net,
tertanggal 4 Nopember 1999 mengatakan, kabinet yang dibentuk Gus Dur atas
persetujuan Amien Rais (partai-partai Islam) , Jenderal Wiranto (militer),
Akbar Tanjung (Golkar).
Namun menurut penulis milis, Kadir
Jaelani, setelah menjadi presiden,
Gusdur mencoba mengakomodasi seluruh golongan, baik dari Indonesia timur, barat, etnik, partai, juga kalangan akademis,
dan militer untuk duduk di kabinetnya. Dalam pidato pelantikan Gus Dur mengatakan sebagai presiden sekarang dia bukan lagi milik dari partainya, tetapi milik
rakyat Indonesia
yang mementingkan kepentingan rakyat bukan
golongan lagi.
Setelah Gus Dur menjadi presiden, Kadir Jaelenai melihat Amien
Rais masih melakukan manuver untuk menghadang kemungkinan Megawati jadi
presiden bila Gus Dur berhenti menjadi presiden di tengah jalan. Itu karena keberadaan
Megawati sebagai Wakil Presiden yang akan menggantikan presiden bila
berhalangan tetap, tidak ia kehendaki.
Berkaitan dengan itu Amien Rais
mengusulkan kepada Badan Pekerja MPR agar pada Sidang Istimewa yang akan
datang, MPR mengamademen lagi UUD 45
tentang jabatan Wakil Presiden Indonesia. Ia menginginkan Wakil Presiden yang awalnya 1 orang bisa dimekarkan menjadi 2 orang sesuai usulan Marwah Daud pada SU MPR sebelumnya dan juga atas usul Yusril Ihza.
tentang jabatan Wakil Presiden Indonesia. Ia menginginkan Wakil Presiden yang awalnya 1 orang bisa dimekarkan menjadi 2 orang sesuai usulan Marwah Daud pada SU MPR sebelumnya dan juga atas usul Yusril Ihza.
Belum lama pemerintahan berjalan, sudah pecah kongsi antara
Poros Tengah plus Golkar dengan Gus Dur. Koalisi antara partai-partai Islam, dan
Golkar lewat orang-orang mereka di DPR/MPR memainkan isu kasus Dana
Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei , serta pernyataan dan
kebijakan Presiden yang kerap menimbulkan kontroversi.
Sebagaimana dipaparkan penulis milis <mtn01sg@yahoo.com> di
forum apakabar@radix.net,.
Poros Tengah telah dikecewakan
oleh sepak terjang Presiden Gusdur yang sulit diprediksi dan sulit dikontrol. Untuk
kepentingan Poros Tengah, yang cenderung
sektarian dan fundamentalis dalam hal agama, sepak terjang Gusdur dinilai sangat mengancam bagi masa depan kepentingan
sektarian mereka dan kepentingan ekonomis mereka.
Walaupun menteri
dari Poros Tengah cukup banyak dan bahkan Wakil Presiden Hamzah Haz berasal
dari mereka, tapi mereka merasa kebijakan-kebijakan Gusdur merugikan
kepentingan mereka dan Islam. Oleh karena itu, dengan segala macam cara perlu
ditempuh untuk menghentikan langkah-langkah Gusdur. Segala
kelemahan-kelemahan Gusdur tidak hanya dikorek habis-habisan, tetapi juga
dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Selain Poros Tengah, PDIP
juga ikut bermain dalam pelengseran Gus Dur. Tujuan akhir pelengseran Gusdur dari dua kelompok ini
tentu saja berbeda. Mereka hanya
bertemu pada fokus: Gusdur harus turun untuk
memecahkan masalah bangsa.
Litbang PDIP melihat bahwa Gusdur sudah sulit diperbaiki lagi, dan sulit
diperingatkan. Mereka juga melihat pula bahwa kepentingan PDIP semakin terjepit oleh langkah-langkah Gusdur yang inkonsisten, dan sulit diikuti oleh akal sehat para elit PDIP. Maka, mereka sepakat untuk mendukung SI MPR.
Selain itu SI MPR
bagi PDIP merupakan momen emas untuk menggolkan hasil kongres di Bali ,
yakni membawa Mega ke kursi Presiden. Dari perspektif partai, manuver PDIP sebetulnya sudah
sangat jelas dan dapat ditebak.
Tetapi sikap Megawati sendiri saat itu tak jelas. Ia cenderung diam tak bergeming. Apakah Mega sebetulnya
mendukung seratus persen atau tidak.
Di mana posisi
Golkar sebagai kekuatan Orde Baru? Tampaknya di sini Golkar yang dimotori Akbar
Tanjung juga bermain aktif sekali. Tujuannya bersifat jangka panjang, sekaligus mengulur
kesempatan untuk bisa bernafas, untuk bisa bergerak dari segala
tekanan terhadap Golkar serta untuk menyelamatkan diri dari segala skandal yang
telah melibatkan Golkar. Oleh karena itu, Golkar kini sedang bermain di
semua lini, baik di dalam dua kelompok yang saling berambisi, di militer,
di birokrasi, dan juga dalam gerakan massa .
Golkar juga aktif
memanas-manasi kedua kelompok yang punya ambisi, yakni PDIP dan Poros Tengah. Dengan begitu,
gerakan reformasi
yang mengarah pada pembusukan dan peminggiran Golkar menjadi semakin
terpojok oleh kepentingan kelompok itu.
Turunnya Gus Dur
Akibat benturan kepentingan yang tajam,
terjadilah saling serang antara pihak Gus Dur dan Poros Tengah plus Golkar.
Saling serang itu tidak hanya lewat kata, tapi juga pengerahan massa . Seperti aksi
mahasiswa pada 12 Maret 2001, Wakil Ketua PBNU, Dr. Andi Jamaro, kepada wartawan,
menengarainya digerakan oleh kelompok anti Gus Dur. Karena itu dia mengancam akan mengerahkan massa pendukung Gus Dur
apabila gerakan ekstra parlementer tetap digunakan untuk menurunkan Gus Dur
dari jabatannya.
Andi menyatakan, PBNU sudah meminta
agar elite-elite politik tidak memaksakan kehendak mereka. “Kalau mereka tidak
menghentikan gerakan massanya, NU akan menggerakkan massa yang sama untuk melawan mereka.
Kesabaran ada tepinya. Dari dulu NU tak akan membeli kalau tidak ditawar,”
tegas Andi.
Andi juga menyesalkan tindakan
anarki yang dilakukan mahasiswa dan massa
anti Gus Dur yang membakar beberapa fasilitas Universitas Katolik Atma Jaya.
“Pagi tadi Amien Rais menyatakan aksi mahasiswa tidak akan anarkis. Tapi,
buktinya, mereka membakar beberapa fasilitas Universitas Atma Jaya,” ujar dia.
Sementara kelompok pro Gus Dur
antara lain mengerahkan sekitar 5.000 massa yang tergabung dalam Forum Masa
Depan Indonesia, untuk melakukan aksi demo di gedung DPR, Kamis,15 Maret 2001.
Sebagian besar dari mereka tampak
mengenakan ikat kepala dan membawa bambu runcing sepanjang setengah meter. Massa yang mengaku dari
berbagai tempat di Pulau Jawa ini dipimpin oleh Avianto Mutaddi meneriakkan
yel-yel yang mengelu-elukan Gus Dur. Mereka juga menuntut revolusi sekarang
juga dengan pembubaran Golkar dan mundurnya Amien Rais dan Akbar Tandjung dari
jabatannya sekarang.
Untuk menjawab
serangan lawan-lawan politiknya dalam kasus
Dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei , Gus Dur memanfaatkan
pertemuannya dengan rektor-rektor universitas yang digelar pada 27 Januari
2001. Pada momen itu, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk dalam anarkisme
menyusul merebaknya kasus dana Yanatera Bulog. Ia mengusulkan pembubaran DPR
jika hal tersebut terjadi.
Tak mau kalah Pada 1 Februari 2001, DPR menjatuhkan
memorandum kedua kepada Presiden Abdurrahman Wahid terkait dengan kasus
penyalahgunaan dana Yanatera Bulog Rp 35 miliar dan bantuan Sultan Brunei .
Pada Maret 2001, Gus
Dur memecat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dan
Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail. Sebab, keduanya dianggap berbeda visi
dengan Presiden, serta tak bisa mengendalikan partainya di parlemen. Apalagi,
Yusril minta Gus Dur mundur. Seperti diketahui Yusril berasal dari Partai
Bulan Bintang sedangkan Nurmahmudi Ismail berasal dari PKS.
Pada 28 Maret 2001,
Presiden Abdurrahman Wahid menjawab
memorandum I DPR. Dalam jawabannya, melalui Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa,
Gus Dur menolak Memorandum I dan membantah terlibat dalam kasus penyalahgunaan
dana Bulog Rp 35 miliar dan bantuan Sultan Brunei .
Pada 30 April
2001, DPR menjatuhkan memorandum kedua kepada Presiden Gus Dur karena tidak
puas dengan jawaban Presiden atas memorandum pertama. DPR juga mengusulkan
sidang istimewa pada 1 Agustus 2001. Dalam voting terbuka itu, dari 457 anggota
Dewan yang hadir, 363 setuju, 52 menolak dan 42 abstain.
Pada 1 Juni 2001, Gus
Dur memecat Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono bersama empat menteri lainnya.
Alasannya, karena SBY tidak mendukung pernyataan keadaan darurat.
Pada 20 Juli 2001,
Ketua MPR Amien Rais mengungkapkan bahwa Sidang istimewa MPR bisa dipercepat
dari 1 Agustus menjadi 23 Juli 2001.
Pada 23 Juli 2001,
Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan dekrit mengenai pembubaran parlemen, DPR
dan MPR serta pembekuan Partai Golkar. Di luar Istana, sekitar 40 ribu tentara
diterjunkan untuk mengamankan ibukota.
Pada 23 Juli 2001,
Kubu Amien Rais, Akbar Tandjung dan Megawati Soekarnoputri melayani keputusan
Gus Dur dengan menggelar Sidang Istimewa MPR saat itu juga. MPR secara resmi
memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
sumber:
1. nasional.news.viva.co.id
2. tempo.co.id
3. tempo.co.id
4. library.ohiou.-edu
5. pdip.www2.50megs.com
6. id.wikipedia.org
7. media.isnet.org
8. kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id