Perahu kuno di dinding Candi Borobudur ini digunakan berlayar ke Madagaskar |
Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang fenomenal, para penjelajah laut Nusantara ternyata sudah lebih dulu melintasi sepertiga bola dunia. Diperkirakan sejak awal masehi nenek moyang Indonesia sudah menemukan Madagaskar dan pada abad kelima masehi telah membangun pemukiman di pulau itu.
Menurut
Afrikanis dari Inggris, Robert Dick-Read, pemukiman itu baru terbentuk sesudah
penduduk baru menghabiskan periode panjang di Afrika dan mengembangkan beberapa
jenis ras ‘Afro-Indonesia’ atau
‘Afro-Malagasy’.
Hal
senada juga diungkapkan oleh Prof Dr Timbul Haryono MSc Arkeolog, Dekan
Fakultas Ilmu Kebudayaan UGM. Peneliti yang pernah mengunjungi pulau seluas 592.800
km2 itu mengatakan, mereka diduga telah
ada di Madagaskar sekitar 1.500 atau 2.000 tahun meskipun dari artefak batu
yang ditemukan menunjukkan adanya kemungkinan budaya lain yang pernah hidup. Bangsa Malagasy yang mendiami Pulau
Madagaskar sekarang ini adalah percampuran bangsa Asia-Afrika.
Hampir sebagian besar
imigran yang datang ke Madagaskar merupakan bangsa Melayu-Polinesia yang telah
mengarungi Lautan Hindia dari Indonesia dan Asia Tenggara. Sebagian imigran
yang lain adalah dari Afrika, serta para pedagang Arab, India, dan Portugis. Meskipun
demikian, tampak sekali bahwa imigran yang pertama berasal dari Asia Tenggara
atau Indonesia.
Prof.
Herawati Sudoyo, peneliti di Eijkman Institute for Molecular Biology,
mengungkapkan bahwa berdasarkan tes genetik disimpulkan bahwa nenek moyang
penduduk Madagaskar tak lain adalah orang Indonesia. Dalam jurnal Proceedings
of The Royal Socety (April, 2012), ia bersama empat peneliti lain dari New
Zealand, Arizona dan Perancis, mengungkapkan bahwa koloni di Pulau Madagaskar
dimulai oleh sekelompok kecil perempuan Indonesia.
Sekitar 28 wanita
Indonesia (tentunya bersama para pria) melakukan perjalanan ke Pulau Madagaskar
pada 1.200 tahun lalu. "Mereka termasuk golongan founder, yang berarti
mereka yang membangun koloni pertama kali," ujar Prof. Herawati Sudoyo, peneliti di
Eijkman Institute for Molecular Biology, Jl. Dipenogoro 69 Jakarta, Senin
(16/4/2012).
Menurutnya, koloni
Madagaskar merupakan kejadian yang sangat penting dalam sejarah pengembaraan
manusia. Banyak asumsi yang telah menjadi pijakan para peneliti untuk menguji
sejarah nenek moyang penduduk Madagaskar.
"Salah satu
latar belakang studi ini adalah kondisi penduduk Madagaskar yang memiliki
kemiripan dengan orang Indonesia,
baik secara fisik, wajah, maupun dalam latar belakang bahasa dan budaya,"
ujarnya.
"Penelitian
yang kita lakukan adalah melalui pencocokan DNA, yaitu 2.745 DNA penduduk Indonesia
dengan 266 penduduk asal Madagaskar. Walau hasilnya sudah diperoleh, tapi baru
DNA yang wanitanya, kami harus juga melakukan pencocokan DNA pada pria Indonesia
dan Madagaskar,"tuturnya.
Seorang warga
Madagaskar, Brigadir Jenderal Richard Rakotonirina, seorang tentara di negara
itu, menyatakan tidak lupa bahwa nenek moyangnya merupakan orang keturunan Indonesia. Hal
itu diungkap Rakotonirina, saat berbincang dengan VIVAnews di ruang
assembly hall, Jakarta Convention Center (JCC), Selasa malam, 20 Agustus 2013
usai penutupan Kongres II Diaspora.
Saking cintanya terhadap Indonesia, dia
belajar Bahasa Indonesia di Puspasa Kementerian Pertahanan, Bandung tahun 2000
silam. "Saya ini warga murni Madagaskar, tapi pernah mengikuti pendidikan
militer di Bandung tahun 2010 lalu. Saat itu saya ikut sekolah staf dan komando
Angkatan Darat di Bandung, lalu ikut pendidikan juga di Lembaga Ketahanan
Naisonal tahun 2011," ungkap Rakotonirina.
Dalam kesempatan itu,
Rakotonirina berkisah soal keterkaitan yang erat antara Madagaskar dengan
Indonesia. Dia bertutur itu semua dimulai pada abad ke-7 hingga abad
ke-12. "Saat itu ada penelitian
yang menyebut pada periode itu orang Nusantara sudah berlayar hingga ke
Madagaskar," kata dia. Sehingga menurut dia, tidak heran apabila 70 persen
dari 22 juta warga Madagaskar merupakan keturunan Indonesia. Sisa
kebudayaan Indonesia
bahkan disebut Rakotonirina masih terlihat hingga sekarang.
Dalam
pandangan Robert Dick-Read berkaitan dengan masuknya orang Indonesia ke Madagaskar, ada fakta yang
menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal di Madagaskar terdiri dari orang-orang
yang menggunakan bahasa Austronesia. Struktur
bahasa orang-orang ini lebih dekat dengan bahasa kepulauan timur yang berjarak
22.500 km, daripada dengan bahasa Afrika yang hanya berjarak 400 km di balik
saluran Mozambique. Yang sekarang agak pasti adalah bahwa orang-orang yang
tinggal di Madagascar
yang lebih dulu mapan di pantai Afrika, memiliki kosa kata, kebiasaan dan
genetik Afrika campuran.
Lalu ada
pertanyaan apakah orang-orang laut Indonesia hanya berhenti di
Madagaskar dan Afrika Timur saja? Philip
Beale, yang pernah mengadakan ekspedisi dari Indonesia
ke Madagaskar dan Afrika Barat dengan kapal replika dkapal kuno Indonesia pada
tahun 2002, menampiknya.
Menurut
dia, orang Indonesia
saat itu tidak hanya menginjakkan kakinya di Madagaskar saja tapi juga di
Afrika Barat. Sementara disetujui secara luas orang-orang Indonesia berlayar ke Afrika Timur,
tidak ada bukti yang kuat bahwa mereka telah melakukan perjalanan melewati
Tanjung Harapan menuju Afrika Barat.
Akan
tetapi ada bukti tidak langsung yang bisa
digunakan dalam hipotesis bahwa
pelayaran yang berbahaya ini telah terjadi. Buktinya bisa ditunjukkan dari
pengaruh budaya yang masih ada di Afrika Barat sekarang ini, seperti alat musik
gambang (xylophone).
Lagi pula, ada bukti botanik di bagian Afrika
Barat. Contoh-contoh masuknya botani Indonesia telah mencapai Afrika Barat
menjelang abad 1 Masehi meliputi ubi, pisang, padi dan kacang betel. Masuknya
tanaman-tanaman ini tampaknya melalui laut agaknya daripada melalui daratan
dari Afrika Timur.
Jejak Pemukiman Nusantara
Jejak paling nyata adanya
pemukiman nusantara di Madagaskar pada masa lampau itu, menurut Mamak Sutamat
dalam situs unisosdem.org, bisa
dilihat dari bentuk wajah, sorot mata, warna kulit, rambut, bentuk tubuh, dan
bahasa sebagian besar bangsa Madagaskar yang mirip bangsa Indonesia. Sebagian
lainnya berkulit hitam bak bangsa Afrika daratan, lengkap dengan rambut
keritingnya, sebagian lagi mengambil wajah India dan Komoro.
Lebih jauh dia
mengungkapkan, dari makanan dan cara memasaknya juga tak banyak beda. Singkong,
ubi jalar, talas, semua jenis sayuran, buah mangga, lengkeng, jeruk, nangka,
jambu mete, bahkan kemiri pun ada seolah tumbuh begitu saja, menyebar nyaris di
seluruh Madagaskar. Cara memasaknyapun aa kesamaan.
Menurut Romo Marbun, di
Badagaskar kita akan menemukan budaya daerah Tapanuli, Aceh, Jawa, Bajo,
Melayu, Flores, Dayak, dan lain-lain. Setiap daerah memiliki ciri budaya khas
dan gampang ditengarai dengan nama kotanya. Misalnya, ada kota bernama Ramli
Marantsetra yang dihuni penduduk yang kemungkinan berasal dari keluarga Ramli,
tokoh Suny dari Aceh; Ambu Malasa yang berpenduduk asal Malaya; dan beberapa
kota lain yang jika dirunut melalui kebiasaan penduduknya bisa menandakan dari
mana kemungkinan mereka berasal.Semua suku dari Indonesia tersebut akhirnya
bercampur dengan budaya bangsa Komoro yang sekaligus membawa agama Islam dan
India.
Menurut Prof Dr Timbul
Haryono MSc Arkeolog, penelitian yang pernah dilakukan oleh Otto Chr Dahl, menunjukkan bahasa Malagasy banyak mendapat
pengaruh dari kata-kata dalam bahasa Melayu dan bahasa Sanskerta. Beberapa
contoh kata-kata dalam bahasa Malagasy yang mirip dengan kata-kata dalam bahasa
Indonesia atau bahasa Jawa, seperti dalam kata bilangan: roa (Mlg) = dua (2);
telo (Mlg, dibaca telu) = telu (3); fito (Mlg, dibaca fitu) = pitu (7); valu
(Mlg) = wolu (8). Kata-kata lain yang memiliki kemiripan antara lain: mora
(baca mura) = murah (bhs Jawa); vulan = wulan (bhs Jawa); vato (baca vatu) =
watu (bhs Jawa); aho (baca ahu) = aku (bhs Jawa); sofina (baca sufin) = kuping
(bhs Jawa).
Ada juga beberapa kata yang mungkin
serapan dari bahasa Sanskerta. Dahl
sampai pada kesimpulan bahwa nenek moyang orang Malagasy datang dari Indonesia.
Peristiwa migrasi tersebut telah terjadi sekitar abad ke-7 Masehi.
Penelitian yang dilakukan
oleh Adelaar juga menunjukkan adanya kata-kata bahasa Malagasy yang menyerap
kata-kata bahasa Melayu, seperti: horita = gurita; fano (baca fanu) = penyu;
hoala = kuala; tanjona = tanjung; varatra = barat; firaka = pirak; hihy = gigi;
fify = pipi; molotra = mulut; haranka = kerangka.
Warga
Madagaskar, Brigadir Jenderal Richard Rakotonirina juga menunjukkan adanya
kemiripan bahasa Indonesia dengan Bahasa Madagaskar. "Contohnya dalam
Bahasa Madagaskar, kami menyebut tenun. Dalam Bahasa Indonesia pun juga begitu.
Kata mati dan hati, juga punya arti yang sama," papar dia.
Jauh
pada masa pergerakan Indonesia, tokoh
pergerakan nasional Indonesia M. Yamin,
sudah mengungkapkan banyak kesamaan antara Bahasa Indonesia dan Madagaskar.
Yamin menyontohkan, “Kerajaan Indonesia di Madagaskar yang telah dijadikan
museum namanya: Rua. Perkataan Indonesianya: ruang, balairung.”
Contoh
lain, “sebutan untuk bilangan dua, tiga, empat, lima. Dalam bahasa Malagasi disebut rua, telu,
efat, dan limi. Ini
mirip ucapan bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Bali,” tulis Tempo, 21 September 1991. “Lalu kata anak,
mati, padi, dan tembok dalam bahasa Malagasi disebut anaka, maty, pary, dan tambuk.”
Bahasa Indonesia tenyata
bukan saja sebagai bahasa yang menyatukan penduduk Indonesia, tetapi menjadi
bahasa yang berjasa dalam pembentukan bahasa pada bangsa lain. Penduduk Pulau
Madagaskar, menjadi penduduk dengan akar sejarah bahasa Indonesia.
"Bahasa Malagasi
(penduduk Madagaskar), merupakan satu-satunya bahasa dalam rumpun Austronesia
di Afrika," ujar Prof. Herawati Sudoyo, peneliti di Eijkman Institute for
Molecular Biology, Jl. Dipenogoro 69 Jakarta, Senin (16\/4\/2012).
Herawati juga mengatakan,
karena pengaruh kedatangan orang-orang Sriwijaya, mereka juga banyak meminjam
kata dari bahasa Sanskrit (modifikasi bahasa melayau dan jawa kuno) yang dulu
dipakai pada zaman Kerajaan Sriwijaya.
Ia mencontohkan, kata
‘lapa’ dalam malagasi berasal dari kata sanskrit ‘mandapa’, yang berarti istana
atau beranda terbuka. Kata ‘s-um-undrara’ dalam malagasi, berasal dari kata
‘sundara’ dalam sanskrit, yang berarti tampan. “Kata pinjaman dari Sanskrit
memberikan indikasi Madagaskar dihuni oleh pemukim dari Kerajaan Sriwijaya pada
abad 6 sampai 13 Masehi,” imbuhnya.
Dari asal mula bahasa
malagasi (Madagaskar) yang meminjam bahasa sanskrit (Indonesia), para peneliti
mendapati bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. "Kelompok
yang memiliki bahasa sama, umumnya berasal dari nenek moyang yang sama
pula," ungkapnya.
Musik dan instrumen musik
memberikan hubungan yang menarik dan penting, khususnya yang dapat dilihat di
Afrika Selatan, antara Indonesia dan Afrika. Sebagai contoh, di wilayah Zambezi
yang lebih rendah, terdengar sayup-sayup suara seruling Nyungwe. Instrumen musik ini identik dalam
bentuk dengan instrumen Vanuatu dan Kepulauan Solomon, tapi yang juga pernah
dimainkan di Jawa, Flores, Timor dan New Guinea. Tapi instrumen Afrika yang
paling dikenal yang dimainkan di sebagian besar tanah Afrika mulai dari
Mozambique sampai Senegal adalah xylophone (gambang), yang oleh banyak ahli
musik saat ini disetujui sebagai berasal dari indonesia.