Jumat, 18 Juli 2014

Quick Count Kredibel Vs Non Kredibel

Demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan sangat baik. Pelbagai perubahan ke arah "demokrasi matang" sudah banyak dilakukan. Namun ada upaya merusak tatanan demokrasi di Indonesia.

Leo Agustino, dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, menilai dinamika politik Indonesia sebelum dan seusai pemilihan presiden kali ini akan menjadi preseden buruk bagi pendalaman demokrasi di Tanah Air. Ia punya dua alasan atas penilaiannya ini.

Pertama, ada usaha untuk mengacaukan hasil hitung cepat yang dilakukan oleh lembaga survei yang kredibel dan berintegritas.  "Paling tidak, dalam perspektif saya, pengacauan hasil hitungan cepat tersebut setidaknya dilakukan oleh pollster yang rekam jejaknya belum teruji punya kredibilitas dan integritas yang baik," kata Leo.

Selain itu, ia mendapat informasi bahwa situasi ini merupakan langkah terencana yang dilakukan oleh Rob Allyn, konsultan politik AS yang berafiliasi dengan salah seorang kontestan pemilu presiden. Situasi ini tentu saja dilakukannya untuk memenangkan capres yang menyewanya.

Rob Allyn yang disebut melakukan strategi muddy the statistical waters di Indonesia sebelumnya pernah menggunakan strategi serupa dalam pemilihan presiden Meksiko. "Setidaknya ini yang saya baca informasinya dari kicauan Prof Dr Marcus Mietzner," kata Leo.


Akibat penerapan strategi ini, yang juga menjadi alasan kedua Leo, muncul kebingungan di tengah masyarakat, terutama ihwal lembaga survei mana yang pantas dipanuti. Malangnya, rakyat Indonesia telah terbelah menjadi dua kelompok besar yang saling mengklaim kemenangan jagoan masing-masing.

Ketiga, masyarakat yang telah meyakini kemenangan jagoan Rob Allyn tentu akan "menghukum" KPU apabila hasil penghitungan manual lembaga negara itu tidak sama dengan quick countlembaga yang memenangkan capres tersebut.

Leo waswas jika situasi ini tidak segera diselesaikan. "Saya khawatir keterbelahan masyarakat yang sudah terbelah akan menjadi semakin akut. Oleh sebab itu, hal yang terbaik adalah masing-masing capres menahan diri untuk tidak berlaku berlebihan, terutama di balik layar. Sebab politik selalu menyediakan ruang bagi elite politik untuk berlaku di front maupun back stage," kata Leo.

Ia khawatir, saat ini, di front stage, elite politik Indonesia seolah-oleh tenang, tapi, di back stage, mereka melakukan aksi Machiavellian.

Recent Posts